Rabu, 10 Januari 2018

Landasan Historis dan Sosiologis Pengembangan Kurikulum



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Kurikulum sebagai sebuah rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, maka dalam penyusunan kurikulum tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan landasan yang kokoh dan kuat.
Landasan pengembangan kurikulum tidak hanya diperlukan bagi para penyusun kurikulum atau kurikulum tertulis yang sering disebut juga sebagai kurikulum ideal, akan tetapi terutama harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh para pelaksana kurikulum yaitu para pengawas pendidikan dan para guru serta pihak-pihak lain yang terkait dengan tugas-tugas pengelolaan pendidikan, sebagai bahan untuk dijadikan instrumen dalam melakukan pembinaan terhadap implementasi kurikulum di setiap jenjang pendidikan. Penyusunan dan pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Dibutuhkan berbagai landasan yang kuat agar mampu dijadikan dasar pijakan dalam melakukan proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga dapat memfasilitasi tercapainya sasaran pendidikan dan pembelajaran secara lebih efektif dan efisien.
B.     Rumusan masalah
a.       Bagaimana landasan historis kurikulum ?
b.      Bagaimana landasan sosiologis kurikulum ?








BAB II
PEMBAHASAN
A.    LANDASAN HISTORIS
Karena banyak sarjana kurikulum sering kekurangan perspektif sejarah, mereka mengandalkan sejarah pendidikan Amerika untuk menganalisis warisan kurikulum. Dengan menganalisis kurikulum 200 tahun pertama (atau lebih) sampai ke peralihan abad 20, kita dapat memandang kurikulum pada pokoknya dalam hal matapelajaran yang berubah dan filsafat perenialisme yang dominan. Baru sesudah munculnya progresifme yang diikuti behaviorisme dan saintisme dalam pendidikan, perhatian dalam bidang kurikulum meluas sehingga mencakup prinsip pengembangan kurikulum. Peralihan ini muncul pada tahun-tahun awal abad ke 20.
1.      Periode Kolonial (1642-1776)
Landasan historis kurikulum banyak berakar pada pengalaman pendidikan di Masschussetts zaman kolonial. Massachussets banyak didiami oleh Puritan yang teguh memegang teologi. Berbeda dengan sekolah kontemporer, sekolah-sekolah pertama di Inggris Baru terkait erat dengan gereja Puritan. Tujuan utama sekolah adalah mengajar anak-anak membaca Kitab Injil dan maklumat yang terkait masalah masyarakat. Karena itu, membaca menjadi mata pelajaran penting, diikuti dengan menulis dan mengeja. Sejak zaman kolonial, membaca dan ketrampilan yang terkait dengan bahasa merupakan dasar pendidikan Amerika dan dasar kurikulum di Sekolah Dasar (SD). Sebagian sejarahwan menganggap ini sebagai cikal bakal sekolah hukum Amerika dan gerakan sekolah negeri.
Kemudian berkembang sekolah-sekolah agama dan sekolah swasta yang berkaitan dengan kelompok etnik atau agama tertentu. Sampai akhir abad ke 18, keputusan pendidikan di koloni bagian selatan diserahkan saja pada keluarga. Komitmen agama memiliki prioritas tinggi di seluruh sekolah dan masyarakat. Kurikulum sekolah kolonial terdiri atas membaca, menulis, dan sedikit berhitung yang kemudian dikenal menjadi 3R sejalan dengan dasar-dasar keyakinan dan pelajaran agama.
Akademi yang didirikan tahun 1751, didasarkan pada ide Benjamin Franklin dan dimaksudkan untuk menawarkan kurikulum praktik bagi siswa yang tidak masuk perguruan tinggi (college). Akademi juga memperkenalkan keterampilan tangan dan praktik ke dalam kurikulum formal; ini menjadi dasar sekolah kejuruan di abad ke 20. Kebanyakan siswa melanjutkan pendidikan ke Harvard atau Yale setelah lulus dari sekolah rakyat berbahasa Latin. College didasarkan atas konsepsi Puritan bahwa yang pantas jadi pendeta adalah yang terdidik baik dalam hal-hal klasik dan injil.

2.      Periode Nasional (1776-1850)
Misi pendidikan baru yang muncul pada periode Revolusi berlanjut sampai awal periode nasional. Banyak pemimpin mulai menghubungkan sekolah negeri dengan ide pemerintah yang populer dan kebebasan politik. Dengan datangnya abad ke 19, kekuatan sekuler menyebabkan menurunnya pengaruh agama di sekolah dasar dan menengah. Di antara para ahli pada periode ini adalah Dr. Benjamin Rush, Thomas Jefferson, Noah Webster, dan William Holmes McGuffey. Menurut Rush sains adalah instrumen utama kemajuan sosial.
Keyakinan pada masyarakat agraris dan ketidak percayaan pada proletar merupakan ide dasar demokrasi Thomas Jeferson. Rencana Jefferson ini mempromosikan ide sekolah sebagai penyeleksi orang-orang pintar yang akan melanjutkan pendidikan sekaligus ide tentang kesamaan kesempatan pendidikan bagi yang kurang mampu secara ekonomis. McGuffey menggabungkan kepercayaan Kristen dengan kekuatan penduduk pedesaan Amerika seperti rasa patriotisme, heroisme, kerja keras, kerajinan, dan kehidupan yang keras. Penekanannya adalah pada moral, agama, kapitalisik, dan pro-Amerika. Melalui bukunya Readers, ia membukakan jalan untuk sistem penjenjangan pendidikan.
3.      Para Pendidik Eropa Abad ke 19
Walaupun banyak kritikan ditujukan pada pemikiran Eropa, pendidikan Amerika justru dipengaruhinya. Pada level perguruan tinggi, para pendidik Jerman mempengaruhi bidang ilmu alam, psikologi, dan sosiologi; banyak universitas yang berorientasi penelitian di Amerika didasarkan pada model Jerman. Di antara para pendidik Eropa itu ialah Johann Heinrich Pestalozzi (Swis), Friedrich Froebel (Jerman), John Freidrich Herbart (Filosof Jerman), dan Herbert Spencer (Inggris). Pestalozzi meletakkan dasar untuk SD moderen dan membantu mereformasi praktik SD. Pestalozzi mengembangkan “object lesson” yang memperkenalkan tiga jenis belajar–bentuk, angka, dan bunyi. Sementara itu, Froebel dikenal dengan pengembangan taman kanak-kanaknya yang dia sebut “Taman anak”. Froebel mengusulkan bahwa pendidikan hendaknya dimulai ketika anak berusia 3-4 tahun dan didasarkan pada permainan yang terorganisir.
Filosof Jerman terkenal J.F. Herbart meyakini bahwa tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan karakter moral. Herbart adalah penolong terbentuknya metode pembelajaran formal yang mencakup langkah-langkah: persiapan, presentasi, asosiasi, generalisasi, dan aplikasi. Langkah ini tidak hanya diadopsi oleh guru-guru kelas tetapi juga diaplikasikan dalam pelatihan guru.
Bagi Spencer, tujuan utama pendidikan adalah “mempersiapkan kehidupan yang lengkap”. Untuk mendukung hal ini, Spencer membentuk kurikulum yang memprioritaskan kegiatan manusia untuk memajukan kemampuan bertahan hidup. Menurutnya, sains sangat penting untuk melindungi diri dan untuk menyelamatkan kehidupan.
4.      Munculnya Pendidikan Universal (1820 – 1920)
Selama awal abad ke 19 Amerika berkembang ke barat. Mereka percaya bahwa semua orang memiliki peran penting dan untuk bertahan hidup setiap orang harus memiliki pekerjaan. Keyakinan ini mendorong mereka untuk mendirikan sekolah. Jenis sekolah yang berkembang saat itu adalah sekolah monitor, sekolah bersama¸ sekolah lanjutan, akademi, dan sekolah menengah. Sekolah monitor daya tarik utamanya adalah ia murah. Siswa yang pintar digunakan jadi instruktur bagi teman-temannya setelah dia mengikuti pelajaran dengan guru. Pembelajaran dilakukan sangat terstruktur dan didasarkan pada penghapalan dan latihan 3R. Guru lebih banyak sebagai inspektur dan supervisor. Sekolah bersama untuk tingkat SD didirikan tahun 1826 di Massachusetts dan diikuti kemudian oleh Connecticut dengan fokus tetap pada 3R. Di sekolah bersama tidak ada kesepakatan tentang kurikulum. Sekolah menengah Amerika didirikan atas dasar prinsip yang digunakan oleh sekolah bersama ini, yaitu dikontrol secara lokal dan didukung dengan pajak.
Pada awal abad ke 19 akademi mulai menggantikan sekolah rakyat berbahasa Latin dan pada pertengahan abad ke 19 menjadi dominan. Salah satu tujuan utama akademi adalah pembentukan matapelajaran yang memiliki nilai lebih dari sekedar persiapan untuk perguruan tinggi, khususnya matapelajaran yang berguna dalam mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kondisi masyarakat yang selalu berubah.
5.      Periode Transisi (1893 – 1918)
Pada tahun 1893 sampai 1895, Asosiasi Pendidikan Nasional membentuk tiga komite: Komite 15 Pendidikan Dasar, Komite 10 Kajian Sekolah Menengah, dan Komite untuk Persiapan Masuk Perguruan Tinggi. Ketiganya bertugas menentukan kurikulum sekolah. Komite 15 menolak ide munculnya mata pelajaran baru dan prinsip pedagogi yang mencirikan gerakan reformasi pionir Eropa sejak awal tahun 1800an. Komite 10 adalah yang paling berpengaruh. Mereka memilih 9 mata kuliah akademi yang menjadi acuan penyusunan kurikulum sekolah menengah. Komite untuk Persiapan Masuk Perguruan Tinggi merekomendasikan agar memperkuat aspek persiapan masuk perguruan tinggi melalui kurikulum sekolah menengah. Secara bertahap, sekolah didorong untuk melakukan perubahan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berubah.
Tekanan yang meningkat terhadap kurikulum tradisional makin nyata pada peralihan abad 19. Abraham Flexner menyusun kurikulum modern yang terdiri atas sains, industri, kewarganegaraan, dan estetika.

6.      Lahirnya Kurikulum sebagai Bidang Kajian (1918 – 1949)
Awal abad ke 20 adalah periode bergejolaknya pendidikan. Kurikulum sudah dipandang sebagai ilmu, dengan prinsip dan metodologi, tidak hanya sebagai muatan atau mata pelajaran. Ide efisiensi mendorong pembuatan kurikulum yang lebih ilmiah, yang mengarahkan proses belajar mengajar yang lebih mendukung prilaku nyata melalui aktivitas merespon dan pengalaman belajar. Buku Bobbitt The Curriculum dianggap sebagai buku pertama yang betul-betul membahas kurikulum sebagai suatu sains. Charters mendukung pendekatan behavioris yang sama, yang ia sebut pendekatan ‘ilmiah’. Ia menganggap kurikulum sebagai serangkaian tujuan yang harus dicapai siswa melalui serangkaian pengalaman belajar. Selama akhir tahun 1920an, 1930an, dan awal 1940an sejumlah buku penting diterbitkan tentang prinsip dan proses kurikulum dan tentang teknik untuk membantu guru membuat kurikulum.
Harold Rugg, ketua buku tahunan NSEE, yang mengikuti keyakinan Bobbitt dan Charters tentang ‘ilmu kurikulum’ mengusulkan agar kurikulum direncanakan oleh guru di awal dan menolak kurikulum yang didasarkan pada kebutuhan atau minat spontan anak. Dalam bukunya setebal 128 halaman yang berjudul Basic Principles of Curriculum and Instruction Tyler mengajukan 4 pertanyaan pokok yang harus dijawab oleh seseorang yang merencanakan atau menulis kurikulum: (1) tujuan pendidikan apa yang akan dicapai sekolah? (2) pengalaman pendidikan apa yang dapat diberikan untuk mencapai tujuan tersebut? (3) Bagaimana pengalaman pendidikan ini diorganisir secara efektif? dan (4) Bagaimana kita bisa menentukan bahwa tujuan ini sedang dicapai?.[1]

B.     LANDASAN SOSIOLOGIS
Studi tentang Peope In Socirty menekankan pada pendapat tentang kemanusiaan yang dimulai oleh sosiologi dan dilakukan oleh para filsuf inggris seperti Hobbes pada abad ke tujuh belas. Mereka merasakan bahwa ada satu hal yang penting bagi individu-individu, yaitu menjaga diri untuk mantaati peraturan, kalau tidak akan kacau balau, karena individu-individu pada dasarnya bersifat rakus dan suka mementingkan diri sendiri.
Para sosiolog masa ini, seperti Auguste Comte dan Emile Durkhmeim, memiliki pertanyaan utama, why is that human beings who are assentiatly gread and sifish manage to co-operate and live harmoniously in a well ondered society ?, hal ini telah menjadi tradisi dalam sosiologi, termasuk sosiologi pendidikan yang dalam pengamatan Durkheim masih banyak terjadi kehancuran nilai setelah revolusi industry dan revolusi prancis. Bagi Durkheim, problem utamanya adalah social onder. Fungsi utama pendidikan adalah menanamkan berbagai system moral kepada masyarakat.
Asas sosiologi mempunya peran penting dalam mengembangkan kurikulum pendidikan pada masyarakat dan bangsa di muka bumi ini. Suatu kurikulum pada prinsipnya mencerminkan keinginan, cita-cita tertentu dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, sudah sewajarnya kalau pendidikan memerhatikan aspirasi masyarakat, dan pendidikan mesti memberi jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan sosio politik ekonomi yang dominan. Berbagai kesukaran juga akan muncul apabila kelompok-kelompok social dalam masyarakat, seperti militer, politik, agama, industry, pemerintah, swasta, ekonomi, dan lain-lain, mengajukan keinginan yang bertentangna dengan kepentingan kelompok masing-masing. Akhirnya, sangat mungkin muncul tekanan dari sumber eksternal, dari negara lain  (terutama Negara-negara maju) organisasi internasional dan lain-lain. Karena pada dasarnya persoalan pendidikan mempunyai keterkaitan dengan aspek lain : ekonomi, politik, dan lain-lain.[2]
Pandangan rekontruksi social di dalam kurikulum dimulai sekitar tahun 1920an. Harold Rug mulai melihat dan menyadarkan kawan-kawannya selama ini terjadi kesenjangan antara kurikulum dengan masyarakat. Ia mengiginkan para siswa dengan pengetahuan dan konsep-konsep baru yang diperolehnya dapat mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah social. Setelah diharapkan dapat menciptakan masyarakat baru yang lebih stabil.
Theodore Brameld, pada awal tahun 1950-an menyampaikan gagasannya tentang rekontruksi social. Dalam masyarakat demokratis, seluruh warga masyarakat harus turut serta dalam perkembangan dana pembaharuan masyarakat. Untuk melaksanakan hal itu sekolah mempunyai posisi yang cukup penting. Sekolah bukan saja dapat membantu individu memperkembangkan kemampuan sosialnya, tetapi juga dapat membantu bagaimana berpartisipasi sebaik-baiknya kegiatan social.
Para rekonstruksionis social tidak mau terlalu menekankan kebebasan individu. Mereka ingin menyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat membuat warganya seperti yang ada sekarang dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya melalui konsesnsus social. Brameld juga ingin memberikan keyakinan tentang pentingnya perubahan social. Perubahan social tersebut harus dicapai melalui prosedur demokrasi. Para rekontruksionis social menentang intimidasi, menakut-nakuti dan kompromi semu. Mereka mendorong agar para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah social yang mendesak (crucial) dan kerja sama atau bergotong royong untuk memecahkannya.[3]
Landasan sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Mengapa pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis ? anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun norformal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan pendidikan.[4]
Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan peserta didik hidup dalam kehidupan masyarakat. Asumsinya adalah peserta didik berasal dari masyarakat, dididik oleh masyarakat dan harus kembali kemasyarakat. Ketika peserta didik kembali kemasyarakat tentu ia harus dibekali dengan sejumlah kompetensi, sehingga ia dapat berbakti dan berguna bagi masyarakat. Kompetensi yang dimaksut adalah sejumlah pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diperoleh peserta didik melalui berbagai kegiatan dan pengalaman belajar di sekolah. Kegiatan dan pengalaman belajar di sekolah. Kegiatan dan pengalaman belajar tersebut diorganisasi dalam pendekatan dan format tertentu yang disebut dengan kurikulum. Berdasarkan alur pemikiran ini, maka sangat logis jika pengembangan kurikulum berdasarkan pada kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, sangat wajar apabila pengembangan kurikulum harus memperhatikan kebutuhan masyarakat dan harus di tunjang oleh masyarakat.[5]
Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke dalam kelompok-kelompok berbeda. Kebudayaan hendaknya dibedakan dengan istilah masyarakat yang mempunyai arti suatu kelompok individu yang terorganisir yang berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri, dengan demikian yang membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya adalah kebudayaan. Hal ini mempunyai implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang, reaksi terhadap perangsang sangat tergantung kepada kebudayaan di mana ia dibesarkan..
Perubahan sosial budaya dalam suatu masyarakat akan mengubah pula kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat juga dipenuhi oleh kondisi dari masyarakat itu sendiri. Adanya perbedaan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya sebagian besar disebabkan oleh kualitas individu-individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut. Di sisi lain kebutuhan masyarakat pada umumnya juga berpengaruh terhadap individu-individu sebagai sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja tidak akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang bersifat teknologis dan menglobal.
Pengembangan kurikulum juga harus ditekankan pada pengembangan individu yang mencakup keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. Lingkungan sosial budaya merupakan sumber daya yang mencakup kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan uraian di atas, sangatlah penting memperhatikan faktor kebutuhan masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Perkembangan masyarakat menuntut tersedianya proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat maka diperlukan rancangan berupa kurikulum yang landasan pengembangannya memperhatikan faktor perkembangan masyarakat.
Pada zaman dahulu, waktu manusia masih hidup dalam rombongan-rombongan masyarakat kecil, terpencil dan sederhana, pendidikan anak-anak untuk kehidupannya dalam masyarakat itu diselenggarakan di luar sekolah, tanpa sekolah. Segala sesuatu yang perlu bagi pendidikannya, di peroleh anak dari orang-orang di lingkungan tanpa pendidikan formal di sekolah. Anak-anak meniru dan mengikuti kelakuan dan pekerjaan orang dewasa, sehingga mereka pandai mengolah tanah, menanam padi, memancing ikan dan berburu. Dengan jalan demikian mereka dapat mengurus diri sendiri dan mencari nafkahnya dalam masyarakat itu. Di samping itu ia mempelajari adat istiadat yang turun temurun dari nenek moyangnya, sehingga ia dapat mengatur kelakuanya sesuai dengan norma-norma yang berlaku di lingkungannya itu. Demikianlah anak-anak memperoleh pendidikan yang lengkap serta fungsional dalam masyarakat yang statis itu.
Akan tetapi pendidikan itu tidak serasi lagi apabila terjadi perubahan-perubahan dalam masyarakat, yang menuntut syarat-syarat yang lebih tinggi lagi dan lebih berat dari warga negara. Anak-anak harus memiliki bermacam-macam keterampilan dan sejumlah besar pengetahuan agar hidupnya terjamin. Orang tua pada umumnya tidak mampu lagi memberikan pendidikan yang layak untuk mempersiapkan anak-anak untuk memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh masyarakat. Yang mendidik anak-anak ialah orang-orang yang mendapat latihan khusus untuk tugas itu. Makin maju masyarakat, makin banyak yang harus diperoleh anak-anak, makin banyak mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak-anak dan karena itu bertambah lamalah mereka harus bersekolah.[6]

Ø  Masyarakat kita dewasa ini
Mendidik anak dengan baik hanya mungkin jika kita memahami masyarakat tempat ia hidup, karena itu setiap Pembina kurikulum harus senantiasa mempelajari keadaan, perkembangan, kegiatan dan aspirasi masyarakat.
Perubahan-perubahan yang hebat dan cepat dalam masyarakat memberi tugas yang lebih luas dan lebih berat kepada sekolah. Sekolah yang tradisonal, yang hanya menoleh ke belakang pasti tidak dapat memberikan pendidikan yang relevan. Bagaimana menghadapi perubahan ini bukan sesuatu yang gampang. Anak-anak yang kini memasuki SD/MI akan menghadapi dunia yang sangat berbeda dengan masyarakat 15 atau 20 tahun lagi bila ia menyelesaikan studinya di universitas. Segala sesuatu mudah menjadi usang, karena cepatnya segala sesuatu berubah. Seorang pengarah bernama Norman Cousins menulis buku “Modern Man is Obsolete” untuk memberi peringatan bahwa kita akan segera terbelakang bila kita tidak senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan social politik, ekonomi.
Peranan keluarga berubah bila dibandingkan dengan dahulu. Keluarga masih merupakan lembaga yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi anak. Kurangnya rasa kasih sayang orang tua dapat menimbulkan sikap agresif atau kelainan lain dalam watak seseorang.
Akan tetapi keluarga sudah banyak melepaskan fungsinya yang dahulu. Rekreasi yang dulu berpusat dalam keluarga kini sudah berpindah ke bioskop, lapangan olah raga atau pusat rekreasi lainnya. Anak tidak lagi mempelajari suatu pekerjaan dari ayahnya, akan tetapi memperolehnya dari sekolah kejurusan. Seorang gadis tidak lagi belajar menjahit dari ibunya, ia mengikuti suatu kursus.[7]

Ø  Fungsi sekolah dan kurikulum
John Dewey memandang sekolah sebagai alat yang paling efektif untuk  merekontruksi dan memperbaiki masyarakat melalui pendidikan individu.
G.S. Couts Smith mempunyai pendirian bahwa ia tidak hanya mengharapkan bahwa pendidikan harus membawa perubahan dalam masyarakat akan tetapi mengubah tata sosial dan mengatur perubahan sosial.

Ø  Kurikulum dan masyarakat dinamis
S.Nasution mengatakan medidik anak dengan baik hanya mungkin jika kita memahami masyarakat tempat mereka hidup. Oleh sebab itu, setiap Pembina kurikulum harus senantiasa mempelajari keadaan, perkembangan, kegiatan, dan aspirasi masyarakat.[8]
Masyarakat senantiasa berubah dan terus-menerus akan berubah. Masyarakat kita sekarang jauh berlainan daripada masyarakat nenek moyang kita dan berlainan pula dengan masyarakat yang akan dihadapi oleh anak cucu kita pada masa mendatang. Ilmu pengetahuan dan teknologi ialah daya-daya yang sangat mempercepat perubahan dalam masyarakat, sehingga merupakan suatu revolusi.
Masyarakat kita sekarang ini sangat dinamis dan senantiasa akan berubah. Berdasarkan kenyataan ini, dapatkah dipertahankan kurikulum yang statis, kolot, dan membatu? Misalnya rencana pelajaran yang bercorak colonial tidak dapat dipertahankan dalam negara yang telah merdeka. Bila diterima sebagai prinsip, bahwa sekolah harus mendidik untuk kehidupan, bahwa sekolah harus mempersiapkan anak-anak untuk kehidupan, bahwa sekolah harus mempersiapkan anak-anak untuk masyarakat, maka kurikulum seharusnya disesuaikan dengan gerak gerik dan perubahan-perubahan masyarakat it. Isi kurikulum harus senantiasa dapat berubah sesuai dengan perubahan masyarakat. Karena kurikulum harus dinamis dan ini hanya mungkin dengan bentuk kurikulum yang fleksibel, yakni yang dapat diubah menurut kebutuhan dan keadaan.[9]

Ø  Ciri-ciri sekolah masyarakat
Menurut Olsen ciri-ciri Community school ialah sebagi berikut :
1.      Sekolah itu memperbaiki mutu kehidupan.
2.      Sekolah itu menggunakan masyarakat sebagai laboratorium tempat belajar
3.      Gedung sekolah itu menjadi pusat kegiatan masyarakat
4.      Sekolah itu mendasarkan kurikulum pada proses-proses dan problem-problem kehidupan dalam masyarakat.
5.      Sekolah itu menurut sertakan orang tua dalam urusan-urusan sekolah
6.      Sekolah itu turut mengkoordinasikan masyarakat
7.      Sekolah itu dapat melaksanakan dan menyebarkan filsafat Negara dalam segala hubungan antar manusia.[10]

Ø  Cara-cara menggunakan masyarakat dalam pelajaran
1.      Karyawisata atau field trip
2.      Menggunakan orang sebagai sumber
3.      Pengabdian masyarakat
4.      Pengalaman kerja dalam masyarakat.[11]




DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Idi, Abdullah, Pengembangan Kurikulum: Teori Dan Praktik, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011.
Nasution, S., Asas-Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Reksoatmojo, Tedjo Narsoyo, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Bandung: PT Refika Aditama, 2010.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011.
http://www.slideshare.net/ulfiarahmi/landasan-historis-kurikulum, diakses pada tanggal 05 Maret 2016.


[2] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum: Teori Dan Praktik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011), hlm, 93-96.
[3] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm,91-92.
[4] Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hlm, 36.
[5] Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013) hlm, 65-66.
[6] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Jakarta: bumi aksara, 1995), hlm, 152-153.
[7] Ibid., hlm, 153-155.
[8] Tedjo Narsoyo Reksoatmojo, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, (Bandung: PT Refika Aditama) 2010, hlm, 37.
[9] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum,…………  hlm,161-162.
[10] Ibid., hlm, 164-166.
[11] Ibid., hlm, 169-172.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar