BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kurikulum
sebagai sebuah rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat strategis
dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum
di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, maka dalam
penyusunan kurikulum tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan landasan yang kokoh
dan kuat.
Landasan
pengembangan kurikulum tidak hanya diperlukan bagi para penyusun kurikulum atau
kurikulum tertulis yang sering disebut juga sebagai kurikulum ideal, akan
tetapi terutama harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh para
pelaksana kurikulum yaitu para pengawas pendidikan dan para guru serta
pihak-pihak lain yang terkait dengan tugas-tugas pengelolaan pendidikan,
sebagai bahan untuk dijadikan instrumen dalam melakukan pembinaan terhadap
implementasi kurikulum di setiap jenjang pendidikan. Penyusunan dan
pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Dibutuhkan
berbagai landasan yang kuat agar mampu dijadikan dasar pijakan dalam melakukan
proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga dapat memfasilitasi tercapainya
sasaran pendidikan dan pembelajaran secara lebih efektif dan efisien.
B. Rumusan
masalah
a. Bagaimana
landasan historis kurikulum ?
b. Bagaimana
landasan sosiologis kurikulum ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. LANDASAN
HISTORIS
Karena
banyak sarjana kurikulum sering kekurangan perspektif sejarah, mereka
mengandalkan sejarah pendidikan Amerika untuk menganalisis warisan kurikulum.
Dengan menganalisis kurikulum 200 tahun pertama (atau lebih) sampai ke
peralihan abad 20, kita dapat memandang kurikulum pada pokoknya dalam hal matapelajaran
yang berubah dan filsafat perenialisme yang dominan. Baru sesudah munculnya
progresifme yang diikuti behaviorisme dan saintisme dalam
pendidikan, perhatian dalam bidang kurikulum meluas sehingga mencakup
prinsip pengembangan kurikulum. Peralihan ini muncul pada tahun-tahun awal abad
ke 20.
1. Periode
Kolonial (1642-1776)
Landasan
historis kurikulum banyak berakar pada pengalaman pendidikan di Masschussetts
zaman kolonial. Massachussets banyak didiami oleh Puritan yang teguh memegang
teologi. Berbeda dengan sekolah kontemporer, sekolah-sekolah pertama di Inggris
Baru terkait erat dengan gereja Puritan. Tujuan utama sekolah adalah mengajar
anak-anak membaca Kitab Injil dan maklumat yang terkait masalah masyarakat.
Karena itu, membaca menjadi mata pelajaran penting, diikuti dengan menulis
dan mengeja. Sejak zaman kolonial, membaca dan ketrampilan yang terkait dengan
bahasa merupakan dasar pendidikan Amerika dan dasar kurikulum di Sekolah Dasar
(SD). Sebagian sejarahwan menganggap ini sebagai cikal bakal sekolah hukum
Amerika dan gerakan sekolah negeri.
Kemudian berkembang
sekolah-sekolah agama dan sekolah swasta yang berkaitan dengan kelompok etnik
atau agama tertentu. Sampai akhir abad ke 18, keputusan pendidikan di koloni
bagian selatan diserahkan saja pada keluarga. Komitmen agama memiliki prioritas
tinggi di seluruh sekolah dan masyarakat. Kurikulum sekolah kolonial terdiri
atas membaca, menulis, dan sedikit berhitung yang kemudian dikenal menjadi
3R sejalan dengan dasar-dasar keyakinan dan pelajaran agama.
Akademi yang
didirikan tahun 1751, didasarkan pada ide Benjamin Franklin dan dimaksudkan
untuk menawarkan kurikulum praktik bagi siswa yang tidak masuk perguruan tinggi
(college). Akademi juga memperkenalkan keterampilan tangan dan praktik ke dalam
kurikulum formal; ini menjadi dasar sekolah kejuruan di abad ke 20. Kebanyakan
siswa melanjutkan pendidikan ke Harvard atau Yale setelah lulus dari sekolah
rakyat berbahasa Latin. College didasarkan atas konsepsi Puritan bahwa yang
pantas jadi pendeta adalah yang terdidik baik dalam hal-hal klasik dan injil.
2. Periode
Nasional (1776-1850)
Misi
pendidikan baru yang muncul pada periode Revolusi berlanjut sampai awal periode
nasional. Banyak pemimpin mulai menghubungkan sekolah negeri dengan ide
pemerintah yang populer dan kebebasan politik. Dengan datangnya abad ke 19,
kekuatan sekuler menyebabkan menurunnya pengaruh agama di sekolah dasar dan
menengah. Di antara para ahli pada periode ini adalah Dr. Benjamin Rush, Thomas
Jefferson, Noah Webster, dan William Holmes McGuffey. Menurut Rush
sains adalah instrumen utama kemajuan sosial.
Keyakinan
pada masyarakat agraris dan ketidak percayaan pada proletar merupakan ide dasar
demokrasi Thomas Jeferson. Rencana Jefferson ini mempromosikan ide sekolah
sebagai penyeleksi orang-orang pintar yang akan melanjutkan pendidikan
sekaligus ide tentang kesamaan kesempatan pendidikan bagi yang kurang mampu
secara ekonomis. McGuffey menggabungkan kepercayaan Kristen dengan kekuatan
penduduk pedesaan Amerika seperti rasa patriotisme, heroisme, kerja keras,
kerajinan, dan kehidupan yang keras. Penekanannya adalah pada moral, agama,
kapitalisik, dan pro-Amerika. Melalui bukunya Readers, ia membukakan jalan
untuk sistem penjenjangan pendidikan.
3. Para
Pendidik Eropa Abad ke 19
Walaupun
banyak kritikan ditujukan pada pemikiran Eropa, pendidikan Amerika justru
dipengaruhinya. Pada level perguruan tinggi, para pendidik Jerman mempengaruhi
bidang ilmu alam, psikologi, dan sosiologi; banyak universitas yang
berorientasi penelitian di Amerika didasarkan pada model Jerman. Di antara para
pendidik Eropa itu ialah Johann Heinrich Pestalozzi (Swis), Friedrich Froebel
(Jerman), John Freidrich Herbart (Filosof Jerman), dan Herbert Spencer
(Inggris). Pestalozzi meletakkan dasar untuk SD moderen dan membantu mereformasi
praktik SD. Pestalozzi mengembangkan “object lesson” yang memperkenalkan tiga
jenis belajar–bentuk, angka, dan bunyi. Sementara itu, Froebel dikenal
dengan pengembangan taman kanak-kanaknya yang dia sebut “Taman anak”. Froebel
mengusulkan bahwa pendidikan hendaknya dimulai ketika anak berusia 3-4 tahun
dan didasarkan pada permainan yang terorganisir.
Filosof
Jerman terkenal J.F. Herbart meyakini bahwa tujuan utama pendidikan adalah
mengembangkan karakter moral. Herbart adalah penolong terbentuknya metode
pembelajaran formal yang mencakup langkah-langkah: persiapan, presentasi,
asosiasi, generalisasi, dan aplikasi. Langkah ini tidak hanya diadopsi oleh
guru-guru kelas tetapi juga diaplikasikan dalam pelatihan guru.
Bagi
Spencer, tujuan utama pendidikan adalah “mempersiapkan kehidupan yang lengkap”.
Untuk mendukung hal ini, Spencer membentuk kurikulum yang memprioritaskan
kegiatan manusia untuk memajukan kemampuan bertahan hidup. Menurutnya, sains
sangat penting untuk melindungi diri dan untuk menyelamatkan kehidupan.
4. Munculnya
Pendidikan Universal (1820 – 1920)
Selama
awal abad ke 19 Amerika berkembang ke barat. Mereka percaya bahwa semua orang
memiliki peran penting dan untuk bertahan hidup setiap orang harus memiliki
pekerjaan. Keyakinan ini mendorong mereka untuk mendirikan sekolah. Jenis
sekolah yang berkembang saat itu adalah sekolah monitor, sekolah bersama¸
sekolah lanjutan, akademi, dan sekolah menengah. Sekolah monitor daya
tarik utamanya adalah ia murah. Siswa yang pintar digunakan jadi instruktur
bagi teman-temannya setelah dia mengikuti pelajaran dengan guru. Pembelajaran
dilakukan sangat terstruktur dan didasarkan pada penghapalan dan latihan 3R.
Guru lebih banyak sebagai inspektur dan supervisor. Sekolah bersama untuk
tingkat SD didirikan tahun 1826 di Massachusetts dan diikuti kemudian oleh
Connecticut dengan fokus tetap pada 3R. Di sekolah bersama tidak ada
kesepakatan tentang kurikulum. Sekolah menengah Amerika didirikan atas dasar
prinsip yang digunakan oleh sekolah bersama ini, yaitu dikontrol secara lokal
dan didukung dengan pajak.
Pada awal
abad ke 19 akademi mulai menggantikan sekolah rakyat berbahasa Latin dan pada
pertengahan abad ke 19 menjadi dominan. Salah satu tujuan utama akademi adalah
pembentukan matapelajaran yang memiliki nilai lebih dari sekedar persiapan
untuk perguruan tinggi, khususnya matapelajaran yang berguna dalam
mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kondisi masyarakat yang selalu
berubah.
5. Periode
Transisi (1893 – 1918)
Pada tahun
1893 sampai 1895, Asosiasi Pendidikan Nasional membentuk tiga komite: Komite 15
Pendidikan Dasar, Komite 10 Kajian Sekolah Menengah, dan Komite untuk Persiapan
Masuk Perguruan Tinggi. Ketiganya bertugas menentukan kurikulum sekolah. Komite
15 menolak ide munculnya mata pelajaran baru dan prinsip pedagogi yang
mencirikan gerakan reformasi pionir Eropa sejak awal tahun 1800an. Komite 10
adalah yang paling berpengaruh. Mereka memilih 9 mata kuliah akademi yang
menjadi acuan penyusunan kurikulum sekolah menengah. Komite untuk Persiapan
Masuk Perguruan Tinggi merekomendasikan agar memperkuat aspek persiapan masuk
perguruan tinggi melalui kurikulum sekolah menengah. Secara bertahap, sekolah
didorong untuk melakukan perubahan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
terus berubah.
Tekanan yang
meningkat terhadap kurikulum tradisional makin nyata pada peralihan abad 19.
Abraham Flexner menyusun kurikulum modern yang terdiri atas
sains, industri, kewarganegaraan, dan estetika.
6. Lahirnya
Kurikulum sebagai Bidang Kajian (1918 – 1949)
Awal abad
ke 20 adalah periode bergejolaknya pendidikan. Kurikulum sudah dipandang
sebagai ilmu, dengan prinsip dan metodologi, tidak hanya sebagai muatan atau
mata pelajaran. Ide efisiensi mendorong pembuatan kurikulum yang lebih
ilmiah, yang mengarahkan proses belajar mengajar yang lebih mendukung prilaku
nyata melalui aktivitas merespon dan pengalaman belajar. Buku Bobbitt The
Curriculum dianggap sebagai buku pertama yang betul-betul membahas kurikulum
sebagai suatu sains. Charters mendukung pendekatan behavioris yang sama, yang
ia sebut pendekatan ‘ilmiah’. Ia menganggap kurikulum sebagai serangkaian
tujuan yang harus dicapai siswa melalui serangkaian pengalaman
belajar. Selama akhir tahun 1920an, 1930an, dan awal 1940an sejumlah buku
penting diterbitkan tentang prinsip dan proses kurikulum dan tentang teknik
untuk membantu guru membuat kurikulum.
Harold
Rugg, ketua buku tahunan NSEE, yang mengikuti keyakinan Bobbitt dan Charters
tentang ‘ilmu kurikulum’ mengusulkan agar kurikulum direncanakan oleh guru di
awal dan menolak kurikulum yang didasarkan pada kebutuhan atau minat spontan
anak. Dalam bukunya setebal 128 halaman yang berjudul Basic Principles of
Curriculum and Instruction Tyler mengajukan 4 pertanyaan pokok yang harus
dijawab oleh seseorang yang merencanakan atau menulis kurikulum: (1) tujuan
pendidikan apa yang akan dicapai sekolah? (2) pengalaman pendidikan apa yang
dapat diberikan untuk mencapai tujuan tersebut? (3) Bagaimana pengalaman
pendidikan ini diorganisir secara efektif? dan (4) Bagaimana kita bisa menentukan
bahwa tujuan ini sedang dicapai?.[1]
B. LANDASAN
SOSIOLOGIS
Studi
tentang Peope In Socirty menekankan pada pendapat tentang kemanusiaan
yang dimulai oleh sosiologi dan dilakukan oleh para filsuf inggris seperti
Hobbes pada abad ke tujuh belas. Mereka merasakan bahwa ada satu hal yang
penting bagi individu-individu, yaitu menjaga diri untuk mantaati peraturan,
kalau tidak akan kacau balau, karena individu-individu pada dasarnya bersifat
rakus dan suka mementingkan diri sendiri.
Para
sosiolog masa ini, seperti Auguste Comte dan Emile Durkhmeim, memiliki
pertanyaan utama, why is that human beings who are assentiatly gread and
sifish manage to co-operate and live harmoniously in a well ondered society ?, hal
ini telah menjadi tradisi dalam sosiologi, termasuk sosiologi pendidikan yang
dalam pengamatan Durkheim masih banyak terjadi kehancuran nilai setelah
revolusi industry dan revolusi prancis. Bagi Durkheim, problem utamanya adalah
social onder. Fungsi utama pendidikan adalah menanamkan berbagai system moral
kepada masyarakat.
Asas
sosiologi mempunya peran penting dalam mengembangkan kurikulum pendidikan pada
masyarakat dan bangsa di muka bumi ini. Suatu kurikulum pada prinsipnya
mencerminkan keinginan, cita-cita tertentu dan kebutuhan masyarakat. Karena itu,
sudah sewajarnya kalau pendidikan memerhatikan aspirasi masyarakat, dan
pendidikan mesti memberi jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan
sosio politik ekonomi yang dominan. Berbagai kesukaran juga akan muncul apabila
kelompok-kelompok social dalam masyarakat, seperti militer, politik, agama,
industry, pemerintah, swasta, ekonomi, dan lain-lain, mengajukan keinginan yang
bertentangna dengan kepentingan kelompok masing-masing. Akhirnya, sangat
mungkin muncul tekanan dari sumber eksternal, dari negara lain (terutama Negara-negara maju) organisasi
internasional dan lain-lain. Karena pada dasarnya persoalan pendidikan
mempunyai keterkaitan dengan aspek lain : ekonomi, politik, dan lain-lain.[2]
Pandangan
rekontruksi social di dalam kurikulum dimulai sekitar tahun 1920an. Harold Rug
mulai melihat dan menyadarkan kawan-kawannya selama ini terjadi kesenjangan
antara kurikulum dengan masyarakat. Ia mengiginkan para siswa dengan
pengetahuan dan konsep-konsep baru yang diperolehnya dapat mengidentifikasi dan
memecahkan masalah-masalah social. Setelah diharapkan dapat menciptakan
masyarakat baru yang lebih stabil.
Theodore
Brameld, pada awal tahun 1950-an menyampaikan gagasannya tentang rekontruksi
social. Dalam masyarakat demokratis, seluruh warga masyarakat harus turut serta
dalam perkembangan dana pembaharuan masyarakat. Untuk melaksanakan hal itu
sekolah mempunyai posisi yang cukup penting. Sekolah bukan saja dapat membantu
individu memperkembangkan kemampuan sosialnya, tetapi juga dapat membantu bagaimana
berpartisipasi sebaik-baiknya kegiatan social.
Para
rekonstruksionis social tidak mau terlalu menekankan kebebasan individu. Mereka
ingin menyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat membuat warganya seperti
yang ada sekarang dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya
melalui konsesnsus social. Brameld juga ingin memberikan keyakinan tentang
pentingnya perubahan social. Perubahan social tersebut harus dicapai melalui
prosedur demokrasi. Para rekontruksionis social menentang intimidasi,
menakut-nakuti dan kompromi semu. Mereka mendorong agar para siswa mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah social yang mendesak (crucial)
dan kerja sama atau bergotong royong untuk memecahkannya.[3]
Landasan
sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari
sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Mengapa
pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis ? anak-anak
berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun
norformal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam
kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan
segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam
melaksanakan pendidikan.[4]
Salah satu
tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan peserta didik hidup dalam
kehidupan masyarakat. Asumsinya adalah peserta didik berasal dari masyarakat,
dididik oleh masyarakat dan harus kembali kemasyarakat. Ketika peserta didik
kembali kemasyarakat tentu ia harus dibekali dengan sejumlah kompetensi,
sehingga ia dapat berbakti dan berguna bagi masyarakat. Kompetensi yang
dimaksut adalah sejumlah pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang
diperoleh peserta didik melalui berbagai kegiatan dan pengalaman belajar di
sekolah. Kegiatan dan pengalaman belajar di sekolah. Kegiatan dan pengalaman
belajar tersebut diorganisasi dalam pendekatan dan format tertentu yang disebut
dengan kurikulum. Berdasarkan alur pemikiran ini, maka sangat logis jika
pengembangan kurikulum berdasarkan pada kebutuhan masyarakat. Dengan demikian,
sangat wajar apabila pengembangan kurikulum harus memperhatikan kebutuhan
masyarakat dan harus di tunjang oleh masyarakat.[5]
Masyarakat
adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke dalam
kelompok-kelompok berbeda. Kebudayaan hendaknya dibedakan dengan istilah
masyarakat yang mempunyai arti suatu kelompok individu yang terorganisir yang
berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau
masyarakat lainnya. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri,
dengan demikian yang membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya
adalah kebudayaan. Hal ini mempunyai implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan
pemikiran seseorang, reaksi terhadap perangsang sangat tergantung kepada
kebudayaan di mana ia dibesarkan..
Perubahan
sosial budaya dalam suatu masyarakat akan mengubah pula kebutuhan masyarakat.
Kebutuhan masyarakat juga dipenuhi oleh kondisi dari masyarakat itu sendiri. Adanya
perbedaan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya sebagian besar
disebabkan oleh kualitas individu-individu yang menjadi anggota masyarakat
tersebut. Di sisi lain kebutuhan masyarakat pada umumnya juga berpengaruh
terhadap individu-individu sebagai sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu,
pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja
tidak akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang bersifat teknologis
dan menglobal.
Pengembangan
kurikulum juga harus ditekankan pada pengembangan individu yang mencakup
keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. Lingkungan sosial budaya
merupakan sumber daya yang mencakup kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasarkan uraian di atas, sangatlah penting memperhatikan faktor kebutuhan
masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Perkembangan masyarakat menuntut
tersedianya proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan
yang sesuai dengan perkembangan masyarakat maka diperlukan rancangan berupa
kurikulum yang landasan pengembangannya memperhatikan faktor perkembangan
masyarakat.
Pada zaman
dahulu, waktu manusia masih hidup dalam rombongan-rombongan masyarakat kecil,
terpencil dan sederhana, pendidikan anak-anak untuk kehidupannya dalam masyarakat
itu diselenggarakan di luar sekolah, tanpa sekolah. Segala sesuatu yang perlu
bagi pendidikannya, di peroleh anak dari orang-orang di lingkungan tanpa
pendidikan formal di sekolah. Anak-anak meniru dan mengikuti kelakuan dan
pekerjaan orang dewasa, sehingga mereka pandai mengolah tanah, menanam padi,
memancing ikan dan berburu. Dengan jalan demikian mereka dapat mengurus diri
sendiri dan mencari nafkahnya dalam masyarakat itu. Di samping itu ia
mempelajari adat istiadat yang turun temurun dari nenek moyangnya, sehingga ia
dapat mengatur kelakuanya sesuai dengan norma-norma yang berlaku di
lingkungannya itu. Demikianlah anak-anak memperoleh pendidikan yang lengkap
serta fungsional dalam masyarakat yang statis itu.
Akan
tetapi pendidikan itu tidak serasi lagi apabila terjadi perubahan-perubahan
dalam masyarakat, yang menuntut syarat-syarat yang lebih tinggi lagi dan lebih
berat dari warga negara. Anak-anak harus memiliki bermacam-macam keterampilan
dan sejumlah besar pengetahuan agar hidupnya terjamin. Orang tua pada umumnya
tidak mampu lagi memberikan pendidikan yang layak untuk mempersiapkan anak-anak
untuk memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh masyarakat. Yang mendidik
anak-anak ialah orang-orang yang mendapat latihan khusus untuk tugas itu. Makin
maju masyarakat, makin banyak yang harus diperoleh anak-anak, makin banyak mata
pelajaran yang harus dikuasai oleh anak-anak dan karena itu bertambah lamalah
mereka harus bersekolah.[6]
Ø
Masyarakat kita dewasa ini
Mendidik anak dengan baik hanya
mungkin jika kita memahami masyarakat tempat ia hidup, karena itu setiap
Pembina kurikulum harus senantiasa mempelajari keadaan, perkembangan, kegiatan
dan aspirasi masyarakat.
Perubahan-perubahan yang hebat dan
cepat dalam masyarakat memberi tugas yang lebih luas dan lebih berat kepada
sekolah. Sekolah yang tradisonal, yang hanya menoleh ke belakang pasti tidak
dapat memberikan pendidikan yang relevan. Bagaimana menghadapi perubahan ini
bukan sesuatu yang gampang. Anak-anak yang kini memasuki SD/MI akan menghadapi
dunia yang sangat berbeda dengan masyarakat 15 atau 20 tahun lagi bila ia
menyelesaikan studinya di universitas. Segala sesuatu mudah menjadi usang,
karena cepatnya segala sesuatu berubah. Seorang pengarah bernama Norman
Cousins menulis buku “Modern Man is Obsolete” untuk memberi peringatan
bahwa kita akan segera terbelakang bila kita tidak senantiasa menyesuaikan diri
dengan perkembangan social politik, ekonomi.
Peranan keluarga berubah bila
dibandingkan dengan dahulu. Keluarga masih merupakan lembaga yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi anak. Kurangnya rasa kasih sayang
orang tua dapat menimbulkan sikap agresif atau kelainan lain dalam watak
seseorang.
Akan tetapi keluarga sudah banyak
melepaskan fungsinya yang dahulu. Rekreasi yang dulu berpusat dalam keluarga
kini sudah berpindah ke bioskop, lapangan olah raga atau pusat rekreasi
lainnya. Anak tidak lagi mempelajari suatu pekerjaan dari ayahnya, akan tetapi
memperolehnya dari sekolah kejurusan. Seorang gadis tidak lagi belajar menjahit
dari ibunya, ia mengikuti suatu kursus.[7]
Ø Fungsi
sekolah dan kurikulum
John Dewey memandang sekolah sebagai
alat yang paling efektif untuk
merekontruksi dan memperbaiki masyarakat melalui pendidikan individu.
G.S. Couts Smith mempunyai pendirian
bahwa ia tidak hanya mengharapkan bahwa pendidikan harus membawa perubahan
dalam masyarakat akan tetapi mengubah tata sosial dan mengatur perubahan
sosial.
Ø Kurikulum
dan masyarakat dinamis
S.Nasution mengatakan medidik anak
dengan baik hanya mungkin jika kita memahami masyarakat tempat mereka hidup.
Oleh sebab itu, setiap Pembina kurikulum harus senantiasa mempelajari keadaan,
perkembangan, kegiatan, dan aspirasi masyarakat.[8]
Masyarakat senantiasa berubah dan
terus-menerus akan berubah. Masyarakat kita sekarang jauh berlainan daripada
masyarakat nenek moyang kita dan berlainan pula dengan masyarakat yang akan
dihadapi oleh anak cucu kita pada masa mendatang. Ilmu pengetahuan dan
teknologi ialah daya-daya yang sangat mempercepat perubahan dalam masyarakat,
sehingga merupakan suatu revolusi.
Masyarakat kita sekarang ini sangat
dinamis dan senantiasa akan berubah. Berdasarkan kenyataan ini, dapatkah
dipertahankan kurikulum yang statis, kolot, dan membatu? Misalnya rencana
pelajaran yang bercorak colonial tidak dapat dipertahankan dalam negara yang
telah merdeka. Bila diterima sebagai prinsip, bahwa sekolah harus mendidik
untuk kehidupan, bahwa sekolah harus mempersiapkan anak-anak untuk kehidupan,
bahwa sekolah harus mempersiapkan anak-anak untuk masyarakat, maka kurikulum
seharusnya disesuaikan dengan gerak gerik dan perubahan-perubahan masyarakat
it. Isi kurikulum harus senantiasa dapat berubah sesuai dengan perubahan
masyarakat. Karena kurikulum harus dinamis dan ini hanya mungkin dengan bentuk
kurikulum yang fleksibel, yakni yang dapat diubah menurut kebutuhan dan
keadaan.[9]
Ø
Ciri-ciri sekolah masyarakat
Menurut Olsen ciri-ciri Community school ialah sebagi
berikut :
1. Sekolah
itu memperbaiki mutu kehidupan.
2. Sekolah
itu menggunakan masyarakat sebagai laboratorium tempat belajar
3. Gedung
sekolah itu menjadi pusat kegiatan masyarakat
4. Sekolah
itu mendasarkan kurikulum pada proses-proses dan problem-problem kehidupan
dalam masyarakat.
5. Sekolah
itu menurut sertakan orang tua dalam urusan-urusan sekolah
6. Sekolah
itu turut mengkoordinasikan masyarakat
7. Sekolah
itu dapat melaksanakan dan menyebarkan filsafat Negara dalam segala hubungan
antar manusia.[10]
Ø Cara-cara menggunakan masyarakat
dalam pelajaran
1. Karyawisata
atau field trip
2. Menggunakan
orang sebagai sumber
3. Pengabdian
masyarakat
4. Pengalaman
kerja dalam masyarakat.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal, Konsep
dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Idi, Abdullah, Pengembangan
Kurikulum: Teori Dan Praktik, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011.
Nasution, S., Asas-Asas
Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Reksoatmojo, Tedjo
Narsoyo, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Bandung:
PT Refika Aditama, 2010.
Sukmadinata, Nana
Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013.
Tim Pengembang MKDP
Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2011.
http://www.slideshare.net/ulfiarahmi/landasan-historis-kurikulum,
diakses pada tanggal 05 Maret 2016.
[1] http://www.slideshare.net/ulfiarahmi/landasan-historis-kurikulum,
diakses pada tanggal 05 Maret 2016.
[2] Abdullah Idi, Pengembangan
Kurikulum: Teori Dan Praktik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011), hlm, 93-96.
[3] Nana Syaodih
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2013), hlm,91-92.
[4] Tim Pengembang MKDP
Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2011), hlm, 36.
[5] Zainal Arifin, Konsep
dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013)
hlm, 65-66.
[6] S. Nasution, Asas-Asas
Kurikulum, (Jakarta: bumi aksara, 1995), hlm, 152-153.
[7] Ibid., hlm,
153-155.
[8] Tedjo Narsoyo
Reksoatmojo, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, (Bandung:
PT Refika Aditama) 2010, hlm, 37.
[9] S. Nasution, Asas-Asas
Kurikulum,………… hlm,161-162.
[10] Ibid., hlm,
164-166.
[11] Ibid., hlm,
169-172.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar