Senin, 28 September 2015

hukum khitan wanita dan anak angkat

I.       PENDAHULUAN
Berbagai macam gagasan yang muncul oleh pakar, terutama yang berkaitan dengan penerapan hukum Islam yang secara kondisional. Apalagi mengenai pembaharuan fiqih sejalan munculnya berbagai problem yang muncul dalam lingkup hukum Islam. Fiqih Islamlah yang mampu menjawab permasalahan yang muncul di era sekarang ini.
Seperti hukum anak angkat atau anak pungut yang sampai sekarang masih diperbincangkan, bukanlah dahulu Nabi Muhammad mengangkat Zaid ibn Haritsah sejak zaman jahiliyah, dapatkan diterapkan lagi untuk sekarang sebagai tujuan maqasih syari’ah.
Salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk menyambung keturunan, akan tetapi tidak seluruh perkawinan melahirkan keturunan yang kelak akan menerima warisan. Keinginan mempunyai anak merupakan naluri bagi insani. Akan tetapi keinginan manusia tidak seluruhnya menjadi kenyataan karena takdir yang Maha Kuasa, atau mungkin salah satu pasangan mempunyai cacat. Untuk mendapatkan anak berbagai cara dilakukan manusia di antaranya memungut anak.
Begitu juga persoalan khitan bagi wanita, bagaimana pandangan para ulama dan pandangan ahli kedokteran atau upaya medis yang tidak pernah dilakukan oleh para fuqaha klasik dengan hukum yang jelas sehingga mereka melakukan suatu yang tidak dilarang dalam agama.

II.    PERMASALAHAN
Bagaimana pandangan Islam menilai permasalahan ini jika tidak terlesaikan akan banyak menimbulkan permasalahan yang kontroversial.
  1. Apakah anak pungut bisa menjadi ahli waris?
  2. Sejauhmanakah hubungan anak pungut dengan orang yang memungutnya?
  3. Bagaimana hukum khitan bagi wanita?
  4. Bagaimana hukumnya dokter dan pasien yang beda kelamin. Sedang dalam Al-Qur'an telah dijelaskan tidak diperbolehkan melihat aurat yang bukan muhrim apalagi menyentuhnya?

III. PEMBAHASAN
  1. Pengertian Anak angkat/pungut
Dalam bahasa Arab dari lugatha yang berarti mengambil anak pungut atau disebut juga dengan “tabani” dengan arti yang sama, sedang dalam bahasa Indonesia “adopsi” pengangkatan anak.
Adopsi mempunyai 2 pengertian
1.      Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung kepadanya.[1]
2.      Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak mengambil nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.[2]

  1. Hukum Anak Pungut
1.      Anak pungut menurut hukum barat
Menurut hukum barat (staatsblad 1917 no 129) anak pungut tidak sesuai lagi untuk kebutuhan masyarakat, karena peraturan tersebut hanya berlaku untuk golongan tertentu. Pemungutan anak bukan hanya untuk menyambung keturunan, akan tetapi demi kepentingan anak sendiri dan pertimbangan sosial.[3]


2.      Anak pungut menurut hukum adat
Dalam lingkaran hukum adat di Indonesia akibat hukum anak pungut juga bervariasi, ada yang mengakibatkan berkedudukan sebagai anak kandung, ada juga yang sebagai anggota rumah tangga dan bukan ahli waris. Dalam hukum adat terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pemungutan anak. Misal karena untuk menambah jumlah keluarga, agar anak yang dipungut mendapat pendidikan yang baik untuk menyambung keturunan atau karena hubungan keluarga.
Dengan demikian jelas bahwa pemungutan anak bernilai positif dan sesuai dengan kebinekaan alam pikiran masyarakat.
3.      Anak pungut menurut hukum Islam
a.      Haram
Al-Qur'an surat al Ahzab ayat 37
$£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷ƒy $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 Ÿw tbqä3tƒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷Šr& #sŒÎ) (#öqŸÒs% £`åk÷]ÏB #\sÛur 4 šc%x.ur ãøBr& «!$# ZwqãèøÿtB ÇÌÐÈ  
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Jelas bahwa agama Islam melarang mengangkat anak orang lain menjadi anak kandung dalam segala hal. Setelah terjadi peristiwa Rasulullah mengangkat anak (Zaid ibn Haritsah), maka tidak ada lagi tempat untuk memungut anak di dalam syariat Islam.
Begitulah pengangkatan anak yang dihapus oleh Islam yaitu menisbatkan anak kepada dirinya padahal dia tahu bahwa dia anak orang lain.[4]
Anak itu dinisbatkan kepada dirinya dan keluarganya dan baginya berlaku seluruh hukum, misalnya bebas bergaul, menjadi mahram, haram dinikah, dan berhak mendapat waris.[5]
Di dalam hadits Bukhari juga dijelaskan sebagai berikut:
من اذا عى الى غيرابيه وانتمى إلى غير مو اليه فعليه لعنة الله والملائكة والنّاس اجمعين لا يعبد الله يوم القيامة صرفاً ولا عدلاً (رواه البخارى)
Artinya:
Barangsiapa yang mendakwahkan dirinya sebagai anak dari seseorang yang bukan ayah, maka kepadanya dititipkan laknat Allah para malaikat dan manusia seluruhnya. Kelak pada hari kiamat Allah tidak menerima amalan-amalannya, baik yang wajib ataupun sunnah.

Syariat Islam yang ditegakkan di atas kebenaran dan kejujuran membina masyarakat dengan landasan hubungan yang murni dan wajar dalam mengatur susunan keluarga.
Dalam masalah warisan karena tidak ada hubungan darah perkawinan dan kerabat yang sebenarnya maka oleh Al-Qur'an hal itu sama sekali tidak bernilai dan tidak menjadikan sebab mendapat warisan.[6]
Penjelasan di atas merupakan dalil tidak diperbolehkannya mengangkat anak seperti pada zaman jahiliyah yang memberi status anak angkat menjadi anak kandung. Hal itu tidak dibenarkan dan tidak diakui oleh Islam, baik itu diambil dari orang lain ataupun diambil dari kerabat sendiri.

b.      Wajib
Di lain sisi pengangkatan anak itu diwajibkan kepada seseorang guna menyelamatkan nyawa seseorang, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur'an surat Al Maidah 32.
ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 ôs)s9ur óOßgø?uä!$y_ $uZè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ¢OèO ¨bÎ) #ZŽÏWx. Oßg÷YÏiB y÷èt/ šÏ9ºsŒ Îû ÇÚöF{$# šcqèùÎŽô£ßJs9 ÇÌËÈ  
dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi..[7]

Di dalam Islam diperbolehkan mengangkat anak dengan beberapa ketentuan
1.      Nasab anak angkat tetap dinisbatkan oleh orang tua kandungnya bukan orang tua angkatnya.
2.      Sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan anak kandung baik dari segi pewarisan, hubungan mahram, maupun wali dalam perkawinan.
3.      Anak angkat tidak berhak menerima warisan dari orang tua angkatnya, akan tetapi boleh mendapat harta benda hibah dari orang tua angkatnya yang maksimal 1/3 dari jumlah harta orang tua angkatnya.
4.      Kalau anak angkat itu perempuan, maka bila kawin tidak boleh diwali oleh bapak angkatnya.[8]
Dari segi kasih sayang, persamaan biaya hidup, persamaan biaya pendidikan antara anak kandung dan anak angkat di dalam Islam diperbolehkan apalagi jika anak angkat itu anak yatim. Sangat dianjurkan untuk memberikan kasih sayang itu disamakan dengan anak kandungnya karena merawat anak yatim dengan sabar dan ikhlas akan mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rasulullah. Seperti sabdanya:
وكان فال اليتم فى الجفة كذا اواشار با الشبابه وانو سطا وفى ج بينهما (البخارى وابو داود والترمذي)
Artinya: saya akan bersama-sama orang yang menanggung anak yatim seperti ini ia menunjukkan jari telunjuk dan tengah dan ia renggangkan keduanya.

  1. ANALISIS
Kalau kita perhatian motif pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia bermacam-macam, ada yang bermotif agar keluarga yang tidak punya anak itu memperoleh anak cucu yang akan meneruskan garis keturunannya, maka dalam hal ini Islam melarangnya. Ada yang bermaksud agar keluarga yang belum dikaruniai anak itu mendapat anak sendiri (jadi semacam untuk mencari berkah atau pancingan (Jawa) atau kasihan pada anak-anak yang menjadi yatim piatu. Maka dalam hal ini Islam tidak melarangnya, selama anak angkat tersebut tidak diberi status sebagai anak kandung sendiri yang mempunyai hubungan kewarisan dan lain-lain.
Di sinilah Islam tidak mengenal pemungutan anak, yang ada hanyalah kebolehan untuk memelihara anak yang terlantar, dan bukan menjadikannya sebagai anak kandung.
Pengangkatan anak dengan motivasi yang berbeda-beda maka Islam sangat perlu menata kembali tata cara pengangkatan anak sehingga tetap dapat dibedakan antara anak kandung dan anak angkat, terutama hak-hak yang berkaitan dengan pewarisan hubungan mahram dan status perwalian karena hal ini terkait dengan masalah ibadah.

HUKUM KHITAN BAGI WANITA
A.    Pengertian Khitan Wanita
Definisi al Mawardi mengenai khitan wanita adalah [9]
khitan wanita mengiris kulit yang paling atas pada alat kelamin yang berbentuk seperti biji-bijian atau bagaikan jengger ayam jago. Dan yang menjadi kewaiban adalah mengiris kulit bagian atas alat tersebut dengan tidak melepaskan potongannya.”

Jadi dalam definisi tersebut, khitan bagi wanita adalah cukup dengan mengiris sedikit alat kelamin tersebut (clitoris). Pada definisi di atas sampai berdarah dan tidak perlu membuangnya.
Di masyarakat Jawa dan Madura misalnya anak perempuan dikhitan masih bayi yang dilakukan oleh dukun/bidan. Ketika anak itu berumur 7-40 hari. Sedangkan di masyarakat Sulawesi mempunyai cara lain, yaitu anak perempuan dikhitankan bersamaan waktunya dengan upacara khataman Al-Qur'an dan yang bertugas mengkhitan adalah dukun.

B.     Hukum Dasarnya
Masalah khitan wanita merupakan masalah ijtihadiyah karena tidak ada nash Al-Qur'an dan hadits yang sharih, maka wajarlah kalau terdapat perbedaan pendapat. Khitan bagi laki-laki memiliki kemaslahatan yang berhubungan dengan syarat diterimanya shalat yaitu thaharah.
Sedangkan bagi perempuan, berkhitan merupakan tujuan yang di dalamnya terdapat faedah, yaitu untuk mengurangi syahwat. Berdasarkan ayat Al-Qur'an surat An Nahl
§NèO !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym ( $tBur tb%x. z`ÏB tûüÅ2ÎŽô³ßJø9$# ÇÊËÌÈ  
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.

Akan tetapi ayat ini lebih condong diwajibkan pada anak laki-laki, sebagaimana yang dilakukan pada Nabi Ibrahim sebagai syariat
Ada beberapa pendapat[10]
1.      Pendapat Syafi’i dan Hambali
Khitan itu hukumnya wajib bukan sunnah menurut pendapat Syafiiyah dalam kitab majmu’ dalil yang digunakan adalah Al-Qur'an dan sunnah
“kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrhaim yang lurus” (an nahl 123).
Dari hadits Abu Hurairah r.a berkata, “potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah”.
2.      Pendapat Hanafi dan Maliki
Khitan hukumnya sunnah bukan wajib. Dengan berdasarkan sebuah hadits riwayat Abu Dawud:
ان امراةكانت تحتن باالمدينة فقال لها النبى صلعم لا تنهكى فا عن ذلك احظى للمراة
Artinya bahwasanya seorang perempuan mengkhitan di Madinah maka Nabi berkata kepadanya: janganlah engkau merusak (alat kelaminnya) karena hal itu merupakan kehormatan bagi perempuan.

Maksud perkataan nabi yang mengatakan janganlah engkau merusak alat kelamin perempuan itu, bukan melarang khitannya, tetapi hanya perintah untuk berhati-hati ketika melaksanakan khitanan itu. Dan hadits di atas, tidak terdapat unsur kewajiban, kecuali hanya unsur legalitas (pengakuan) Nabi SAW terhadap perbuatan perempuan yang mengadakan khitanan di Madinah ketika itu.
3.      Pendapat Ibn Qudamah
Wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni yaitu khitan itu wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita tapi tidak wajib.

ANALISIS
WHO dan PBB melarang khitan bagi wanita dengan alasan khitan bagi wanita melanggar hak-hak anak untuk kebebasan. Juga menghilangkan trauma di masa kecil dan mencegah terinfeksi HIV/AIDS. Larangan khitan bagi wanita oleh WHO masih sebatas wacana belum pada dasar praktek atau tindakan. Pasalnya WHO merujuk pada kultur bud Eropa, Amerika dan juga agama yahudi. Larangan tersebut tidak bisa dilaksanakan di Indonesia  agama Islam menganjurkan khitan bagi wanita.
Islam punya aturan berbeda dengan umat yahudi, Islam menghormati hak anak dan wanita. Tujuannya khitan adalah membersihkan kotoran pada salutan kemih dan menambah gairah orgasme jika dikhitan.
Jadi untuk wanita dianjurkan hanya memotong sedikit saja atau tidak sempat kepada pangkalnya. Namun tidak seperti laki-laki yang memang memiliki alasan yang jelas untuk berkhitan dari sisi kesucian dan kebersihan. Khitan bagi wanita lebih kepada sifat pemuliaan semata. Hadits yang kita miliki pun tidak secara tegas memerintahkan untuk melakukannya, hanya mengakui adanya budaya seperti itu dan memberikan petunjuk tentang cara yang dianjurkan dalam mengkhitan wanita.
Sehingga para ulama pun berpendapat bahwa hal itu sebaiknya diserahkan kepada setiap negeri, apakah mereka memang melakukan khitan pada wanita atau tidak. Bila budaya di negeri itu biasa melakukannya, maka ada baiknya untuk mengikutinya. Namun biasanya khitan wanita itu dilakukan saat mereka masih kecil.
Sedangkan khitan bagi wanita yang sudah dewasa, akan menjadi masalah tersendiri karena sejak awal tidak ada alasan yang terlalu kuat untuk melakukannya.

DOKTER DAN PASIEN YANG BEDA JENIS KELAMIN
Di dalam Al-Qur'an telah dijelaskan bahwa janganlah kamu perempuan menampakkan perhiasanmu dan auratmu terkecuali pada suamimu dan mahrammu, seperti terdapat dalam surat An Nur ayat 31
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ ( Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ)  ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr&  ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr&  ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r&  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/  ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷ƒr& Írr& šúüÏèÎ7»­F9$# ÎŽöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# šúïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàtƒ 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( Ÿwur tûøóÎŽôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøƒä `ÏB £`ÎgÏFt^ƒÎ 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ  
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar