I.
PENDAHULUAN
Berbagai macam gagasan yang muncul
oleh pakar, terutama yang berkaitan dengan penerapan hukum Islam yang secara
kondisional. Apalagi mengenai pembaharuan fiqih sejalan munculnya berbagai
problem yang muncul dalam lingkup hukum Islam. Fiqih Islamlah yang mampu
menjawab permasalahan yang muncul di era sekarang ini.
Seperti hukum anak angkat atau anak
pungut yang sampai sekarang masih diperbincangkan, bukanlah dahulu Nabi
Muhammad mengangkat Zaid ibn Haritsah sejak zaman jahiliyah, dapatkan
diterapkan lagi untuk sekarang sebagai tujuan maqasih syari’ah.
Salah satu tujuan dari perkawinan
adalah untuk menyambung keturunan, akan tetapi tidak seluruh perkawinan
melahirkan keturunan yang kelak akan menerima warisan. Keinginan mempunyai anak
merupakan naluri bagi insani. Akan tetapi keinginan manusia tidak seluruhnya
menjadi kenyataan karena takdir yang Maha Kuasa, atau mungkin salah satu
pasangan mempunyai cacat. Untuk mendapatkan anak berbagai cara dilakukan
manusia di antaranya memungut anak.
Begitu juga persoalan khitan bagi
wanita, bagaimana pandangan para ulama dan pandangan ahli kedokteran atau upaya
medis yang tidak pernah dilakukan oleh para fuqaha klasik dengan hukum
yang jelas sehingga mereka melakukan suatu yang tidak dilarang dalam agama.
II.
PERMASALAHAN
Bagaimana pandangan Islam menilai
permasalahan ini jika tidak terlesaikan akan banyak menimbulkan permasalahan
yang kontroversial.
- Apakah anak pungut bisa menjadi ahli waris?
- Sejauhmanakah hubungan anak pungut dengan orang yang memungutnya?
- Bagaimana hukum khitan bagi wanita?
- Bagaimana hukumnya dokter dan pasien yang beda kelamin. Sedang dalam Al-Qur'an telah dijelaskan tidak diperbolehkan melihat aurat yang bukan muhrim apalagi menyentuhnya?
III.
PEMBAHASAN
- Pengertian Anak angkat/pungut
Dalam bahasa Arab dari lugatha
yang berarti mengambil anak pungut atau disebut juga dengan “tabani”
dengan arti yang sama, sedang dalam bahasa Indonesia “adopsi” pengangkatan
anak.
Adopsi mempunyai 2 pengertian
1.
Mengambil anak orang lain untuk
diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan
oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak
kandung kepadanya.[1]
2.
Mengambil anak orang lain untuk
diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak mengambil nasab orang tua
angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai
hubungan anak dengan orang tua.[2]
- Hukum Anak Pungut
1.
Anak pungut menurut hukum barat
Menurut hukum barat (staatsblad
1917 no 129) anak pungut tidak sesuai lagi untuk kebutuhan masyarakat, karena
peraturan tersebut hanya berlaku untuk golongan tertentu. Pemungutan anak bukan
hanya untuk menyambung keturunan, akan tetapi demi kepentingan anak sendiri dan
pertimbangan sosial.[3]
2.
Anak pungut menurut hukum adat
Dalam lingkaran hukum adat di
Indonesia akibat hukum anak pungut juga bervariasi, ada yang mengakibatkan
berkedudukan sebagai anak kandung, ada juga yang sebagai anggota rumah tangga
dan bukan ahli waris. Dalam hukum adat terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
pemungutan anak. Misal karena untuk menambah jumlah keluarga, agar anak yang
dipungut mendapat pendidikan yang baik untuk menyambung keturunan atau karena
hubungan keluarga.
Dengan demikian jelas bahwa
pemungutan anak bernilai positif dan sesuai dengan kebinekaan alam pikiran
masyarakat.
3.
Anak pungut menurut hukum Islam
a.
Haram
Al-Qur'an surat al Ahzab ayat 37
$£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷y $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 w tbqä3t n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷r& #sÎ) (#öqÒs% £`åk÷]ÏB #\sÛur 4 c%x.ur ãøBr& «!$# ZwqãèøÿtB ÇÌÐÈ
Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri
anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Jelas bahwa agama Islam melarang
mengangkat anak orang lain menjadi anak kandung dalam segala hal. Setelah
terjadi peristiwa Rasulullah mengangkat anak (Zaid ibn Haritsah), maka tidak
ada lagi tempat untuk memungut anak di dalam syariat Islam.
Begitulah pengangkatan anak yang
dihapus oleh Islam yaitu menisbatkan anak kepada dirinya padahal dia tahu bahwa
dia anak orang lain.[4]
Anak itu dinisbatkan kepada
dirinya dan keluarganya dan baginya berlaku seluruh hukum, misalnya bebas
bergaul, menjadi mahram, haram dinikah, dan berhak mendapat waris.[5]
Di dalam hadits Bukhari juga
dijelaskan sebagai berikut:
من اذا عى الى غيرابيه وانتمى إلى غير
مو اليه فعليه لعنة الله والملائكة والنّاس اجمعين لا يعبد الله يوم القيامة صرفاً
ولا عدلاً (رواه البخارى)
Artinya:
Barangsiapa yang mendakwahkan dirinya sebagai anak dari seseorang
yang bukan ayah, maka kepadanya dititipkan laknat Allah para malaikat dan
manusia seluruhnya. Kelak pada hari kiamat Allah tidak menerima
amalan-amalannya, baik yang wajib ataupun sunnah.
Syariat Islam yang ditegakkan di atas
kebenaran dan kejujuran membina masyarakat dengan landasan hubungan yang murni
dan wajar dalam mengatur susunan keluarga.
Dalam masalah warisan karena tidak
ada hubungan darah perkawinan dan kerabat yang sebenarnya maka oleh Al-Qur'an
hal itu sama sekali tidak bernilai dan tidak menjadikan sebab mendapat warisan.[6]
Penjelasan di atas merupakan dalil
tidak diperbolehkannya mengangkat anak seperti pada zaman jahiliyah yang
memberi status anak angkat menjadi anak kandung. Hal itu tidak dibenarkan dan
tidak diakui oleh Islam, baik itu diambil dari orang lain ataupun diambil dari
kerabat sendiri.
b.
Wajib
Di lain sisi pengangkatan anak itu
diwajibkan kepada seseorang guna menyelamatkan nyawa seseorang, sebagaimana
terdapat dalam Al-Qur'an surat Al Maidah 32.
ô`tBur $yd$uômr& !$uK¯Rr'x6sù $uômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 ôs)s9ur óOßgø?uä!$y_ $uZè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ¢OèO ¨bÎ) #ZÏWx. Oßg÷YÏiB y÷èt/ Ï9ºs Îû ÇÚöF{$# cqèùÎô£ßJs9 ÇÌËÈ
dan Barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah Dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka
Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan dimuka bumi..[7]
Di dalam Islam diperbolehkan
mengangkat anak dengan beberapa ketentuan
1.
Nasab anak angkat tetap dinisbatkan
oleh orang tua kandungnya bukan orang tua angkatnya.
2.
Sekedar sebagai anak asuh,
tidak boleh disamakan anak kandung baik dari segi pewarisan, hubungan mahram,
maupun wali dalam perkawinan.
3.
Anak angkat tidak berhak
menerima warisan dari orang tua angkatnya, akan tetapi boleh mendapat harta
benda hibah dari orang tua angkatnya yang maksimal 1/3 dari jumlah harta orang
tua angkatnya.
4.
Kalau anak angkat itu
perempuan, maka bila kawin tidak boleh diwali oleh bapak angkatnya.[8]
Dari segi kasih sayang, persamaan
biaya hidup, persamaan biaya pendidikan antara anak kandung dan anak angkat di
dalam Islam diperbolehkan apalagi jika anak angkat itu anak yatim. Sangat
dianjurkan untuk memberikan kasih sayang itu disamakan dengan anak kandungnya
karena merawat anak yatim dengan sabar dan ikhlas akan mendapatkan derajat yang
tinggi di sisi Rasulullah. Seperti sabdanya:
وكان فال اليتم فى الجفة كذا اواشار با
الشبابه وانو سطا وفى ج بينهما (البخارى وابو داود والترمذي)
Artinya: saya akan bersama-sama orang yang menanggung anak yatim
seperti ini ia menunjukkan jari telunjuk dan tengah dan ia renggangkan
keduanya.
- ANALISIS
Kalau kita perhatian motif
pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia bermacam-macam, ada yang
bermotif agar keluarga yang tidak punya anak itu memperoleh anak cucu yang akan
meneruskan garis keturunannya, maka dalam hal ini Islam melarangnya. Ada yang
bermaksud agar keluarga yang belum dikaruniai anak itu mendapat anak sendiri
(jadi semacam untuk mencari berkah atau pancingan (Jawa) atau kasihan pada
anak-anak yang menjadi yatim piatu. Maka dalam hal ini Islam tidak melarangnya,
selama anak angkat tersebut tidak diberi status sebagai anak kandung sendiri
yang mempunyai hubungan kewarisan dan lain-lain.
Di sinilah Islam tidak mengenal
pemungutan anak, yang ada hanyalah kebolehan untuk memelihara anak yang
terlantar, dan bukan menjadikannya sebagai anak kandung.
Pengangkatan anak dengan motivasi
yang berbeda-beda maka Islam sangat perlu menata kembali tata cara pengangkatan
anak sehingga tetap dapat dibedakan antara anak kandung dan anak angkat,
terutama hak-hak yang berkaitan dengan pewarisan hubungan mahram dan status
perwalian karena hal ini terkait dengan masalah ibadah.
HUKUM KHITAN BAGI WANITA
A.
Pengertian Khitan Wanita
Definisi al Mawardi mengenai khitan wanita adalah [9]
“khitan
wanita mengiris kulit yang paling atas pada alat kelamin yang berbentuk seperti
biji-bijian atau bagaikan jengger ayam jago. Dan yang menjadi kewaiban adalah
mengiris kulit bagian atas alat tersebut dengan tidak melepaskan potongannya.”
Jadi dalam definisi tersebut, khitan bagi wanita adalah
cukup dengan mengiris sedikit alat kelamin tersebut (clitoris). Pada
definisi di atas sampai berdarah dan tidak perlu membuangnya.
Di masyarakat Jawa dan Madura misalnya anak perempuan
dikhitan masih bayi yang dilakukan oleh dukun/bidan. Ketika anak itu berumur
7-40 hari. Sedangkan di masyarakat Sulawesi mempunyai cara lain, yaitu anak
perempuan dikhitankan bersamaan waktunya dengan upacara khataman
Al-Qur'an dan yang bertugas mengkhitan adalah dukun.
B.
Hukum Dasarnya
Masalah khitan wanita merupakan
masalah ijtihadiyah karena tidak ada nash Al-Qur'an dan hadits yang sharih,
maka wajarlah kalau terdapat perbedaan pendapat. Khitan bagi laki-laki memiliki
kemaslahatan yang berhubungan dengan syarat diterimanya shalat yaitu thaharah.
Sedangkan bagi perempuan, berkhitan
merupakan tujuan yang di dalamnya terdapat faedah, yaitu untuk mengurangi
syahwat. Berdasarkan ayat Al-Qur'an surat An Nahl
§NèO !$uZøym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOÏdºtö/Î) $ZÿÏZym ( $tBur tb%x. z`ÏB tûüÅ2Îô³ßJø9$# ÇÊËÌÈ
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama
Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan tuhan.
Akan tetapi ayat ini lebih condong
diwajibkan pada anak laki-laki, sebagaimana yang dilakukan pada Nabi Ibrahim
sebagai syariat
Ada beberapa pendapat[10]
1.
Pendapat Syafi’i dan Hambali
Khitan itu hukumnya wajib bukan
sunnah menurut pendapat Syafiiyah dalam kitab majmu’ dalil yang
digunakan adalah Al-Qur'an dan sunnah
“kemudian kami wahyukan kepadamu
untuk mengikuti millah Ibrhaim yang lurus” (an nahl 123).
Dari hadits Abu Hurairah r.a berkata,
“potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah”.
2.
Pendapat Hanafi dan Maliki
Khitan hukumnya sunnah bukan wajib.
Dengan berdasarkan sebuah hadits riwayat Abu Dawud:
ان امراةكانت تحتن باالمدينة فقال لها
النبى صلعم لا تنهكى فا عن ذلك احظى للمراة
Artinya bahwasanya seorang perempuan mengkhitan di Madinah maka Nabi
berkata kepadanya: janganlah engkau merusak (alat kelaminnya) karena hal itu
merupakan kehormatan bagi perempuan.
Maksud perkataan nabi yang mengatakan
janganlah engkau merusak alat kelamin perempuan itu, bukan melarang khitannya,
tetapi hanya perintah untuk berhati-hati ketika melaksanakan khitanan itu. Dan
hadits di atas, tidak terdapat unsur kewajiban, kecuali hanya unsur legalitas
(pengakuan) Nabi SAW terhadap perbuatan perempuan yang mengadakan khitanan di
Madinah ketika itu.
3.
Pendapat Ibn Qudamah
Wajib bagi laki-laki dan mulia bagi
wanita. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni yaitu khitan
itu wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita tapi tidak wajib.
ANALISIS
WHO dan PBB melarang khitan bagi wanita dengan alasan
khitan bagi wanita melanggar hak-hak anak untuk kebebasan. Juga menghilangkan
trauma di masa kecil dan mencegah terinfeksi HIV/AIDS. Larangan khitan bagi
wanita oleh WHO masih sebatas wacana belum pada dasar praktek atau tindakan.
Pasalnya WHO merujuk pada kultur bud Eropa, Amerika dan juga agama yahudi.
Larangan tersebut tidak bisa dilaksanakan di Indonesia agama Islam menganjurkan khitan bagi wanita.
Islam punya aturan berbeda dengan umat yahudi, Islam
menghormati hak anak dan wanita. Tujuannya khitan adalah membersihkan kotoran
pada salutan kemih dan menambah gairah orgasme jika dikhitan.
Jadi untuk wanita dianjurkan hanya memotong sedikit saja
atau tidak sempat kepada pangkalnya. Namun tidak seperti laki-laki yang memang
memiliki alasan yang jelas untuk berkhitan dari sisi kesucian dan kebersihan.
Khitan bagi wanita lebih kepada sifat pemuliaan semata. Hadits yang kita miliki
pun tidak secara tegas memerintahkan untuk melakukannya, hanya mengakui adanya
budaya seperti itu dan memberikan petunjuk tentang cara yang dianjurkan dalam
mengkhitan wanita.
Sehingga para ulama pun berpendapat bahwa hal itu
sebaiknya diserahkan kepada setiap negeri, apakah mereka memang melakukan
khitan pada wanita atau tidak. Bila budaya di negeri itu biasa melakukannya,
maka ada baiknya untuk mengikutinya. Namun biasanya khitan wanita itu dilakukan
saat mereka masih kecil.
Sedangkan khitan bagi wanita yang sudah dewasa, akan
menjadi masalah tersendiri karena sejak awal tidak ada alasan yang terlalu kuat
untuk melakukannya.
DOKTER DAN PASIEN YANG BEDA JENIS KELAMIN
Di dalam Al-Qur'an telah dijelaskan bahwa janganlah kamu
perempuan menampakkan perhiasanmu dan auratmu terkecuali pada suamimu dan
mahrammu, seperti terdapat dalam surat An Nur ayat 31
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ ( wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷r& Írr& úüÏèÎ7»F9$# Îöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# úïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàt 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøä `ÏB £`ÎgÏFt^Î 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar