I.
PENDAHULUAN
Ketika suatu masalah atau
perkara-perkara baru itu sudah jelas ada ketetapan hukumnya dalam al Qur’an
maupun hadits nabi, tentu hal itu bukanlah suatu masalah yang berarti, karena
semua itu dapat dikembalikan langsung kepada sumber-sumber hukum islam untuk
menentukan hukumnya. Namun apabila perkara tersebut belum terdapat dalam dalil
yang jelas dalam al Qur’an atau hadits nabi, maka hal ini haruslah
diistinbatkan oleh ‘ulama-ulama tentang hukum suatu perkara tersebut berasarkan
ijma’ mapun qiyas, yang mana kedua cara ini merupakan sumber hukum islam yang
ketiga dan keempat.
Jadi sangat penting bagi umat islam
untuk memahami dan memperdalam ilmu Fiqh secara komprehensif sehingga umat
Islam mampu beradaptasi dan menyesuaikan di era globalisasi, dengan pembuktian
yaitu mampu menjawab dan memberi jalan keluar atau solusi terhadap problematika
yang terjadi pada zaman dan zaman yang akan datang. Maka dari itu pada
kesempatan kali ini makalah yang akan kami presentasikan ini mengenai tentang
problematika fiqh yang ada pada masyarakat sekarang, di antaranya:
1.
Hukum Memindahkan Makam
2.
Eutanasia Bagi Pengidap
Penyakit Aids Dan Cara Merawat Jenazahnya
3.
Hukum Kloning
II.
POKOK PERMASALAHAN
Dalam pembahasan makalah kami kali
ini, akan membahas tentang:
1.
Hukum Memindahkan Makam
2.
Eutanasia Bagi Pengidap
Penyakit Aids Dan Cara Merawat Jenazahnya
3.
Hukum Kloning
III. PEMBAHASAN
1.
Hukum Memindahkan Makam
atau Kuburan
Dengan berbagai macam alasan, dewasa
ini makin banyak kompleks makam atau makam seseorang dipindah ke tempat lain.
Untuk kepentingan individu maupun kepentingan umum, sekarang banyak orang
ataupun instansi pemerintah yang dengan berbagai alasan menggunakan lahan
pemakaman untuk dijadikan bangunan ataupun tempat umum, misalnya untuk
pelebaran, kompleks perumahan, lahan industri, ataupun bangunan-bangunan lain
yang mereka anggap untuk kepentingan umum.
Menurut pandangan Islam sendiri,
permasalahan seperti di atas merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan
haruslah ada perumusan hukum yang jelas dengan melihat kemashlahatannya, kita
bisa mengetahui penetapan hukum dengan melihat dampak positif maupun
negatifnya.
Menurut hukum Islam itu sendiri Membongkar
dan mengeluarkan kuburan seorang muslim tanpa alasan syar'i, diharamkan. Adapun
sebab dilarangnya hal tersebut berdasarakan sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dari Umrah dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha :
"Artinya : “Sesungguhnya
mematahkan tulang orang mukmin yang sudah mati sama saja seperti mematahkannya
dalam keadaan hidup" [Hadits Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah,
Ath-Thahawi, Ibnu Hibban, Ibnu Jarrud, Ad-Daruquthbi, Al-Baihaqi, Ahmad, Abu
Na'im, dan Al-Khathib].
Akan tetapi pemindahan kompleks makam
ke tempat lain hukumnya tafshil, yaiitu :
1.
Pemindahan makam ke tempat
lain, haram hukumnya kecuali madzhab Hanafi
2.
Memindah mayat ke tempat lain
menurut madzhab Syafi’I hukumnya haram, kecuali karena darurat. Sedangkan
menurut madzhab Maliki boleh dengan syarat :
a.
Tidak terjadi perusakan pada tubuh mayat
b.
Tidak menurunkan martabat mayat
c.
Pemindahan tersebut atas dasar mashlahat
umat
Dasar pengambilan :
1.
Al-Jamal ‘alal Minhaj juz II, hlm. 218
وحرم نبشه قبل
البلى عند اهل الخبرة بتلك الارض بعد دفنه لنقل وغيره كتكفين وصلا ة عليه لانّ فيه
هتكا لحرمته إلاّ لضرورة كدفن بلا طهر من غسل او تيمّم وهو ممّن يجب طهره. (الجمل
على المنهج 2/218)
2.
Nihayatuz Zain, hlm. 155
وإن كانت الارض مسبّلة للدّفن وهي الّتي جرت عا
دة أهل البلد فيها حرم البناء والهدم. (نهاية الزّين: 155)
الما لكيّة قالوا: يجوز نقل الميّت قبل الدّفن
وبعده من مكان إلى أخر بشروط ثلاثة: أوّلها ان لا ينفجر حال نقله. ثانيها ان لا
تهتك حرمته بأن ينقل على وجه يكون فيه تحقير له. ثالثها ان يكون نقله بمصلحة ...
إلى أن قال ... فإن فقد شرط من هذه الشّروط الثّلاث حرم نقله. (الفقه على المذاهب
الاربعة 1/537)
Haram hukumnya membongkar kembali
mayat setelah dikuburkan sebelum mayat tersebut diyakini sudah hancur sesuai
dengan pendapat para pakar tentang tanahnya, untuk dipindahkan ataupun yang lainnya
seperti mengkafani dan mensholati, karena dapat merusak kehormatan mayat
kecuali darurat, seperti dikuburkan tanpa disucikan, baik dimandikan ataupun
tayamum, sedangkan mayat tersebut merupakan orang yang harus disucikan. (Al-Jamal
‘alal Minhaj juz II, hlm. 218)
Sendainya tanah kuburan landai dan
itu merupakan kebiasaan penduduk suatu negeri, maka haram dibangun di atasnya
dan dirobohkan. (Nihayatuz Zain, hlm. 155)
Ulama Mailiki berpendapat, boleh
memindahkan mayat sebelum dan sesudah dikubur dari satu tempat ke tempat yang
lain dengan tiga syarat, yaitu :
1.
Mayat tidak pecah (rusak)
ketika dipindah
2.
Tidak sampai menodai
kehormatannya, misalnya memindahkannya dengan cara yang dapat menghinakannya
3.
Kepindahannya itu karena
ada sesuatu kepentingan.
Jika satu syarat dari ketiga syarat
ini tidak terpenuhi, maka haram memindahkannya. (Al-Fiqh ‘ala Madzahibul
Arba’ah juz IV, hlm. 537)[2]
Dari sini dapat kita ketahui
bagaimana pelanggaran terhadap perbuatan haram yang dilakukan sebagian
pemerintah Islam ketika mereka membongkar kuburan untuk dijadikan bangunan
dengan alasan tata kota, tanpa memperdulikan haramnya perbuatan itu, atau tanpa
memperhatikan adanya larangan menginjak-nginjak kuburan dan mencederai
tulang-tulangnya. Semestinya, orang-orang yang hidup mengatur urusannya tanpa
harus menganiaya orang-orang yang sudah mati.
Merupakan suatu penyimpangan pula apa
yang dilakukan para penguasa Islam dewasa ini, ketika mereka menempatkan lahan
pemakaman umum jauh dari luar kota dan melarang mengubur mayat di pemakaman
lama. Sebab, tindakan ini pada akhirnya melalaikan atau menjauhkan kaum
muslimin untuk melaksanakan sunnah berziarah kubur. Kebanyakan kaum muslimin
merasa berat pergi ke luar kota sekedar untuk berziarah kubur dan mendo'akan
para penghuninya.
Tidak ada kemuliaan bagi tulang
belulang mayat non mukmin. Hal ini tersirat dari penuturan redaksi hadits yang
menisbatkan lafal mukmin dalam sabda beliau 'azmul mu'min', dalam hal ini
memberi makna bahwa 'azhm' (tulang) orang kafir tidak demikian. Makna yang
tersirat ini telah disinggung oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari
seraya mengatakan, 'Dapat dipetik dari hadits tersebut bahwa kemulian seorang
mukmin tetap hingga setelah matinya, persis sebagaimana di masa hidupnya.
(Disebutkan dalam kitab Faidhul-Qadir karya Al-Munawi IV/551)[3].
2.
Hukum Eutanasia Bagi Pengidap
Aids dan Cara Merawat Jenazahnya.
Penyakit AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala akibat menurun atau daya
tahan atau kekebalan tubuh. Penyebab AIDS adalah kuman HIV (Human Immuno
Deficiency Virus). Dewasa ini AIDS sudah menjadi masalah social dan
kemanusiaan, karena sifatnya yang mematikan dan belum ditemukan obat untuk
menyembuhkannya dan faksin untuk mencegah penularannya.
Karena virus HIV
dapat berada dalam darah, cairan vagina dan sperma maka penularan dan
penyebaran dapat terjadi melalui :
a.
Hubungan intim
b.
Parenteral (Melalui alat tusuk
atau suntik) darah dan produk darah yang terkena HIV
c.
Perinatal (dari ibu hamil
pengidap HIV kepada bayi yang dikandungnya).
Sebagian besar 90% penularan HIV
terjadi secara seksual selebihnya terjadi secara parenteral dan perinatal.
Berbeda dengan penyakit lain, pengidap HIV atau AIDS tidak dapat disembuhkan,
karenanya menurut perhitungan medis pengidapnya pasti mati. Hanya saja, dari
HIV menjadi AIDS melalui beberapa stadium dalam kurun waktu yang cukup lama
yang memungkinkan penularannya kepada orang lain.
Islam merupakan ajaran yang penuh rahmat (rahmatan lil'alamiin) yang diperlukan sebagai pedoman dalam
berbagai ragam kehidupan bermasyarakat khususnya didalam rangkaian upaya
meningkatkan kualitas sumber daya insani di tanah air guna mencapai khaira ummah yang dicirikan pembentukan
manusia seutuhnya.
Ulama, utamanya kaum
Ulama Indonesia menjadi pewaris dan penerus perjuangan Rasulullah (warasatul anbiya’) secara
bersungguh-sungguh berkehendak untuk berperan serta dalam ikhtiar mulia
peningkatan daya insani di Indonesia. Secara sadar ulama juga berkewajiban
mengantisipasi kemungkinan kendala yang dihadapi dalam ikhtiar tersebut
khususnya dengan adanya ancaman di bidang kesehatan masyarakat melalui
kecenderungan kuatnya penyebaran HIV/AIDS. Hal ini sejalan dengan hakekat
ajaran Islam yang amat mengedepankan prinsip kebersamaan dalam kebajikan dan
ketakwaan (ta'awun alal-birri wattaqwa).
Dewasa ini di
Indonesia telah dihadapkan pada ancaman AIDS dan dituntut untuk membuat pilihan
secara tegas guna pencegahan virus maut tersebut sehingga dapat terhindar dari
konsekwensi-konsekwensi lain di bidang budaya, sosial, ekonomi, dan politik
yang bukan mustahil akan meruntuhkan suatu bangsa.
Mengingat belum
ditemukannya obat penyembuh, beban psikologis penderita dan kemungkinan
penularannya, yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana hukum eutanasia
(tindakan mengakhiri hidup) untuk pengidap AIDS. [4]
Dalam pandangan
Islam Eutanasia itu haram hukumnya. Nabi Muhammad SAW bersabda :
إجتنبواالسّبع
المو بيقات, قالوا: يا رسول الله, وماهي؟ قال الشّرك باالله, والسّحر, وقتل النّس
الّتي حرّم الله إلاّ بالحقّ, واكل الرّباء, واكل مال اليتيم, والتّولي يوم
الزّحف, وقذ ف المحصنات الغافلات المؤمنات (متفّق عليه)
”Jauhilah tujuh perkara besar yang merusak. Para
shahabat bertanya: Apakah tujuh perkara itu Ya Rasulullah? Jawab Nabi, yaitu:
menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang oleh Allah diharamkan kecuali
karena haq, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan
dan menuduh perempuan-perempuanbaik, terjaga dan beriman melakukan zina.” (H.R. Bukhari dan
Muslim).
Dalam
menurut fatwa ulama :
يشترط في العمد أن يكون
ظلما من حيث كونه مزهقا للروح بخلاف غير الظلم ... الى أن قال ...وهم أي العمد في النفس
قصد الفعل العدوان وعين الشّخص بما يقتل قطعا او غالبا. (مغني المحتاج)
Disyaratkan
dalam kesengajaan untuk bisa dianggap sebagai perbuatan dzalim sekiranya dapat
melenyapkan jiwa. ….Ia memang bermaksud dalam dirinya untuk melakukan perbuatan
yang secara pasti ataupun menurut kebiasaan dapat menyebabkan kematian. (Mughnil
Muhtaj juz IV hlm. 3).
Dan
tidak memperketat serta membiarkan rasa sakit sampai mati. Jika memang
demikian, maka termasuk ada kesengajaan, karena biasanya dapat membunuh.
Seandainya dia menahan diri dan tidak mau makan serta minum atau salah satu
dari keduanya dan tidak pula mau mencari makanan dan minuman sampai mati. Karena
kehasuan, maka termasuk bersengaja karena adanya gejala keinginan merusak dan
menghancurkan diri sendiri. (Wa nafsil kitab, hlm. 4) [5]
Rekomendasi
MUI mengenai Komisi
Fatwa diharapkan dapat membicarakan dan mengeluarkan fatwa perihal
langkah-langkah pencegahan penyebaran HIV / AIDS, di antaranya :
a.
Eutanasia bagi penderita AIDS, karena
pendapat yang masih berbeda diantara :
-Yang
mendukung berdasarkan pengutamaan maslahat/keselamatan umum yang lebih
menyeluruh.
-Yang
menolak karena larangan agama menghilangkan nyawa manusia dengan alasan apapun,
dan juga etika kedokteran tentang keharusan pengobatan sampai akhir hayat.
b.
Pengkarantinaan penderita AIDS dengan pertimbangan maslahat umum bagi yang
menyetujuinya dan pertimbangan hak asasi bagi yang menolaknya.
c.
Sterilisasi bagi suami isteri yang positif mengidap ataupun menderita HIV/AIDS.[6]
Adapun
cara merawat jenazahnya, khususnya cara memandikannya, yaitu dengan tetap
memandikan seperti mayat biasa dengan memperhatikan petunjuk dokter atau
ahlinya. Jika dikhawatirkan terjadi penularan, maka ditayamumi.
Barang siapa yang
sulit untuk membasuhnya karena tidak adanya air atau lainnya, seperti terbakar
atau dipagut binatang atau ditakutkan timbulnya bahaya terhadap si pembasuh dan
tidak memungkinnya untuk menjaganya, maka ia harus ditayamumi dianalogkan
dengan mandi jinabat. (Mughnil Mughtaj juz I, hlm 358)
Dan sekiranya sulit
untuk membasuh atau mensucikannya maka harus ditayamumi, seperti karena luka
bakar, digigit binatang atau adanya kekhawatiran timbulnya suatu bencana
terhadap dirinya dan tidak mungkin untuk menjaganya dari terkena air. (Al-Hawasyil
Madaniyyah juz II, hlm 107)[7]
3. Hukum Kloning
Istilah klon atau cloning
berasal dari bahasa Yunani yang artinya pemangkasan (tanaman). Istilah ini
digunakan untuk potongan atau pangkasan tanaman yang akan ditanam. Kini dalam
term ilmu pengetahuan kloning bibit unggul secara efektif dan efisien. Berarti
sebuah rekayasa genetika untuk mereproduksi makhluk organik secara aseksual
(tanpa diawali proses pembuahan sel telur oleh sperma, tapi diambil inti dari
sebuah sel). Saat ini aplikasi kloning sudah mencakup bidang yang cukup luas,
yakni kloning gen (kloning pada bakteri dan sel dalam kultur jaringan), kloning
tanaman (buah, sayuran, dan bunga) dan kloning hewan (katak, tikus, dan domba).
Manfaat kloning gen bagi kehidupan antara lain adalah untuk memperoleh hormon
pertumbuhan, insulin, interferon, vaksin, terapi gen dan diagnosis penyakit
gemetik. Sedangkan kloning tanaman dan hewan sangat bermanfaat untuk mengembang
biakkannya yang digunakan sesuai kebutuhan manusia.
Kloning hewan
pertama kali dicoba pada tahun 1950-an pada katak. Kini selain pada tikus, kera
dan bison juga pada yang cukup yang menghebohkan. Secara teoritik, kloning
manusia (human cloning) juga bukan yang mustahil, baik dari sel manusia
yang masih hidup maupun yang sudah mati,
karena prosesnya tidak berbeda dengan kloning hewan. Untuk kloning manusia,
sebaimana kloning hewan, selain sel yang akan dikloning harus ada ovum (sel
telur) dan rahim. Tanpa ovum tidak bisa dikloning. Dan tanpa rahim sel yang
akan dikloning pada ovum akan mati.
Kloning manusia ada
dua cara, yaitu : cara pertama, sel langsung dikloning pada ovum. Setelah
terjadi pembelahan, diambil satu langsung ditanam dalam rahim. Proses
seterusnya seperti pada umumnya. Cara kedua, hampir sama dengan proses bayi
tabung. Pertama-pertama melakukan dengan pembuahan dengan sperma atas ovum (sel
telur) diluar rahim. Setelah terjadi pembelahan (sampai maksimal 64
pembelahan), ditanam dalam rahim, sel intinya dan diganti dengan sel manusia yang
akan dikloning. Proses selanjutnya adalah sebagaimana kehamilan biasa. Namun
demikian, baik melalui cara pertama maupun kedua manusia hasil kloning, tak
akan persis sama dengan manusia yang dikloning, karena juga dipengaruhi oleh
sperma bagi cara kedua. Ovum dan kondisi ibu yang mengandungnya. Kloning
manusia juga dapat dilakukan untuk menghindarkan seseorang dari penyakit.
Caranya, hasil pembuahan yang terdeksi mengandung suatu penyakit diambil sel intinya
kemudian diambil dengan sel lain yang sehat. Kemudian hasil ditanamkan dalam
rahim.
Permasalahannya
yaitu bagaimana hukum kloning itu?
a. Pemanfaatan teknologi kloning gen pad tanaman
diperbolehkan, karena hajat manusia untuk kemaslahatannya.
b. Kloning gen pada hewan diperbolehkan dengan
catatan dilakukan dalam rangka kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at.
c. Adapun kloning gen pada manusia hukumnya haram.
1. Proses tanasul (berketurunan) harus melalui
pernikahan secara syar’i.
2. bisa mengakibatkan kerancauan nasab.
3. penanamannya kembali ke dalam rahim tidak dapat
dilakukan tanpa melihat aurat besar.
Adapun yang menjadi
dasar hukum dalam kloning adalah sebagai berikut:
عن أنس رضي الله عنه أنّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم مرّ بقوم يلحقون فقال:
لولم تفعلوا لصلح. قال: فخرج شيصا فمرّ بهم فقال بهم: ما لنخلكم؟ قالوا: قلت كذا
وكذا. قال: أنتم أعلم بأمر دنياكم. (صحيح مسلم بشرح النّووي 2/342)
Diriwayatkan dari
shahabat Anas, bahwa Nabi Muhammad SAW. Melewati suatu kaum yang sedang
melakukan penyerbukan (untuk mengawinkan kurma). Maka Nabi Muhammad SAW.
Bersabda “seandainya kalian tidak melakukan penyerbukan ia tetap akan baik”.
Ternyata kurma yang dihasilkan bermutu jelek. Nabi Muhammad SAW. Melewati
mereka kembali dan bersabda “apa yang terjadi pada kurma kalian?”, mereka
menjawab, “aku melakukan ini dan itu (sesuai dengan anjuran nabi dengan tidak
melakukan penyerbukan sebagaimana biasanya)”. Maka Nabi Muhammad SAW. bersabda,
“kalian lebih mengetahui dengan masalah yang terbaik dengan dunia kalian”.
(Shahih Muslim bi syarah Al Nawawi, juz
II hlm. 342).
Sesunggunhnya
reproduksi hewan itu memang dicari bagi kemaslahatan manusia. (Al Jamal Syarah
Al Minhaj, juz III hlm. 68).
Firman Allah SWT.
(Al Mu’minun: 7), “barang siapa mencari di balik itu... ” (dengan tidak
melakukan persetubuhan sewajarnya) dengan para istri dan budak seperti
beronani... ”maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Dengan melakukan perbuatan keterlaluan yang tidak halal bagi mereka. (Tafsir Al
Jamal juz III, hlm. 208).
Sesungguhnya
perasaan kebapakan dan keibuan itu tidak akan terwujud dalam hal yang terkait
dengan keturunan, kecuali jika keturunan tersebut telah ada dan hidup dengan
cara yang alami. Perkawinan dapat menyebabkan terbentuknya suatu keluarga dan
mempermudah perolehan prinsip keutamaan, kehormatan dan kemuliaan.
Rasulullah SAW.
Bersabda, “nikahlah kalian dam perbanyaklah keturunan, sesungguhnya aku akan
bangga menjadi umat yang terbesar dengan (banyaknya keturunan) kalian.”
IV. KESIMPULAN
Dari pemaparan
makalah di atas, dapat disimpulkan :
1.
Menurut hukum Islam itu sendiri
Membongkar dan mengeluarkan kuburan seorang muslim tanpa alasan syar'i,
diharamkan. Adapun sebab dilarangnya hal tersebut berdasarakan sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Umrah dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha. :
"Artinya : “Sesungguhnya mematahkan tulang orang
mukmin yang sudah mati sama saja seperti mematahkannya dalam keadaan
hidup" [Hadits Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ath-Thahawi, Ibnu Hibban,
Ibnu Jarrud, Ad-Daruquthbi, Al-Baihaqi, Ahmad, Abu Na'im, dan Al-Khathib].
2. Memindah
mayat ke tempat lain menurut madzhab Syafi’I hukumnya haram, kecuali karena
darurat. Sedangkan menurut madzhab Maliki boleh dengan syarat :
a.
Tidak terjadi perusakan pada
tubuh mayat
b.
Tidak menurunkan martabat mayat
c.
Pemindahan tersebut atas dasar mashlahat
umat
3. Virus HIV dapat berada dalam
darah, cairan vagina dan sperma maka penularan dan penyebaran dapat terjadi
melalui :
a.
Hubungan intim
b.
Parenteral (Melalui alat tusuk
atau suntik) darah dan produk darah yang terkena HIV
c.
Perinatal (dari ibu hamil
pengidap HIV kepada bayi yang dikandungnya).
4. Dalam pandangan Islam Eutanasia itu haram
hukumnya. Nabi Muhammad SAW bersabda : ”Jauhilah tujuh perkara besar yang
merusak. Para shahabat bertanya: Apakah tujuh perkara itu Ya Rasulullah? Jawab
Nabi, yaitu: menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang oleh Allah
diharamkan kecuali karena haq, memakan harta riba, memakan harta anak yatim,
lari dari peperangan dan menuduh perempuan-perempuanbaik, terjaga dan beriman
melakukan zina.”
(H.R. Bukhari dan Muslim).
5.
Istilah klon atau cloning berasal dari bahasa Yunani yang artinya
pemangkasan (tanaman). Istilah ini digunakan untuk potongan atau pangkasan
tanaman yang akan ditanam. Kini dalam term ilmu pengetahuan kloning bibit
unggul secara efektif dan efisien.
6. Kloning dapat dilakukan pada tanaman, hewan,
dan manusia. Akan tetapai kloning pada manusia haram hukumnya. Dan kloning pada
tanaman ataupun hewan. Sesunggunhnya reproduksi hewan itu memang dicari bagi
kemaslahatan manusia. (Al Jamal Syarah Al Minhaj, juz III hlm. 68).
V. PENUTUP
Puji syukur penulis
panjatkan kehadlirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, inayah dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami
sadar, bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan, oleh karena itu penulis mohon maaf, serta mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun demi perbaikan makalah dan karya tulis lain di
kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar