Senin, 28 September 2015

HUKUM MENYEMIR RAMBUT, ASURANSI JIWA, KATAK DAN KEPITING

HUKUM MENYEMIR RAMBUT, ASURANSI JIWA, KATAK DAN KEPITING

I.              PENDAHULUAN
Islam sebagai agama fitrah memiliki corak ajaran yang berbeda dengan agama-agama lainnya. Dari perbedaan itu pula maka umat Islam diharapkan memiliki identitas yang berbeda dengan umat agama lain. Perbedaan mendasar antara umat Islam dengan umat agama lain ini dimaksudkan agar mereka menentukan kiprahnya dan karakteristiknya menurut Islam.
Orang memperindah diri tidak hanya dengan pakaian saja, tetapi ada juga yang berhias dengan hiasan-hiasan lainnya, seperti gelang, cincin, kalung dan anting-anting. Kulit dirawat, supaya tetap halus dan lembut. Rambut yang sudah memutih disemir (dicat), supaya kelihatan rapi dan lebih muda lagi, kukupun diberi warna, supaya kelihatan lebih cantik dan menarik.
Manusia pada umumnya sangat cinta kepada keindahan, dan rasa estetika pada diri manusia sebenarnya tidak bertentangan dengan Islam, asalkan keindahan itu tidak menjurus kepada maksiat seperti melihat wanita dengan pakaian yang sangat minim, apakah dalam bentuk gambar ataupun dalam bentuk wujud manusia yang sebenarnya “Allah Maha Indah dan Mencintai Keindahan”.
Di bawah ini akan dijelaskan, bagaimana hukumnya memperindah rambut dengan cara menyemir, asuransi jiwa, katak dan kepiting.

II.           PERMASALAHAN
A.    Hukum menyemir rambut
B.     Hukum Asuransi jiwa
C.     Hukum Katak dan Kepiting


III.        PEMBAHASAN
A.    Hukum Menyemir Rambut
Kini menyemir rambut hanya untuk menutupi uban, tapi sudah menjadi trend. Sekedar gaya dan untuk tampil beda. Seperti biasnaya, sesuatu berubah menjadi trend dan ditiru jika para selebritis mulai gemar memakainya, demikian pula trend mewarnai rambut. Aplagi alat-alat kosmetik yang bias dipakai pun semakin mudah didapat dnegan harga terjangkau.
Bukan perkara krusal memang, tapi tentunya sebagai muslim kita tidak bias sekedar ikut-ikutan. Perlu dikaji dulu, bagaimana syariat menilainya. Perlu juga pertimbangan mashlahat dan madharat yang proporsional karena beberapa perkara berkaitan erat dengan situasi, kondisi atau kebiasaan, juga norma masyarakat setempat.[1]
Menyemir rambut, tidak hanya sekarang saja dipersoalkan orang, tetapi sejak zaman Rasulullah SAW. Pun sudah menjadi pembicaraan.[2]
Dalam tinjauan fikih, menyemir rambut untuk uban pda dasarnya adalah sunah. Dalam pembahasan ini dibagi menjadi beberapa point :
·         Pertama, menyemir rambut dengan warna hitam
Ada dua kondisi, dibolehkan dalam jihad dan peperangan. Ibnu Hajar mengatakan, “Dan dikecualikan dari larangan itu bagi seorang mujahid menurut kesepakatan. Tujuannya adalah untuk irhab, atau meneror musuh. Karena musuh akan mengira pasukan Islam terdiri dari kaum muda semua. Kondisi kedua dilarang jika digunakan untuk menipu.
·         Kedua, menyemir rambut dengan selain warna hitam
Jika rambut telah berubah maka disunahkan menyemirnya dengan warna selain warna hitam.[3]
Jumhur ulama berbeda pendapat tentang menyemir rambut. Perbedaan ini tidak saja sebatas pada warna, tetapi juga pada alat lain. Ini berarti warna sangat bergantung pada kebiasaan pemakainya. Untuk memperoleh kejelasan terhadap perbedaan pendapatan jumhur sekitar menyemir rambut, maka disimak beberapa sebagai berikut :
Ø  Sa’ad bin Abi Waqqash, Uqbah bin Amir, Hasan, Husain, Jarir, dan sebagainya membolehkan menyemir rambut dengan warna hitam. Sedangkan ulama lain tidak membolehkan, kecuali dalam keadaan perang. Pendapat yang membolehkan menyemir rambut dengan warna hitam mendasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzi dan Ashhab al-sunan sebagai berikut :
عن سعيد الخدر رضي الله عنه قال رسول الله صلىّ الله عليه وسلّم: انّ احسن ما غير ثمّ به الثيب الجناء والكتم. (رواه الترمذى)

 “ Dari Said Al-hudriyyi ra. Nabi Muhammad SAW bersabda : Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir rambut ialah pohon inai dan katam.” (al Turmudzi)
Ø  Ulama lain menyatakan makruh menyemir rambut dengan warna hitam. Pendapat ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW :
عن عا ئشة رضى الله عنها قالت: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: غيرواهما واحنبوه السّوّاد (رواه مسلم)

“Dari Aisyah ra. Berkata, Rasulullah SAW bersabda : Bahwa menyemir dengan pohon inai boleh, tetapi jauhilah warna hitam.” (H.R. Muslim)
Ø  Imam al-Zuhri menyatakan bahwa kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah masih tampak muda, tetapi bila mulai mengerut kami tinggalkan warna hitam itu.
Ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa menyemir rambut dibolehkan oleh Islam, sementara nahannya sangat bergantung pada kecocokan dan kondisi yang dihadapi.[4]
Dalam riwayat lain, Nabi bersabda :
انّ اليهود والنصارى لا يصبغون فنها لفوهم (رواه البخارى)

Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani tidak menyemir (mengecat) rambut mereka. Karena itu, hendaklah kamu berbeda dengan mereka (dengan menyemir rambutmu)”. (H.R. Bukhari)
Berlandaskan kepada hadis di atas, maka sebagian sahabat seperti Abu Bakar dan Umar menyemir rambutnya, sedangkan yang lainnya tidak, seperti Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab dan Anas.[5]

B.     Hukum Asuransi Jiwa
Asuransi menurut bahasa “insurensi” –itali “verzekering” –Belanda “insurance” –Inggris (Wirjono Projodikoro, 1979 : 1) dan “ta’min” –Arab (Atabik Ali, 1996 : 389), artinya jaminan atau pertanggungan.
Menurut istilah, asuransi adalah suatu akad dimana penjamin dengan kehendak akad tersebut berkewajiban membayar kepada si terjamin atau kepada orang yang mendapat laba, disyaratkan bahwa al-ta’min yang dilaksanakan untuk kebaikan karena akibat dari harta atau pembayaran secara tertib atau ganti rugi dari harta yang lain ketika terjadi suatu kecelakaan maupun bahaya yang tertera dalam akan (Hasyim Ali, 1995 : 3)[6]
Dari risalah Syaikh Bakhit Mubti Mesir dalam majalah Nurul Islam No. 6 Jilid I halaman 267, bahwa :
وامّا التأمين على الحياة فهو ابعد عن العقل السّليم واوجب لدّ نفشة والاستغراب

“Artinya : Adapun gadai kehidupan (asuransi jiwa) itu sangat tidak cocok menurut akal yang sehat dan menjadikan kebingungan dan kelangkaan.”
Di dalam Al Qur’an dijelaskan, bahwa :
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi, katakanlah : “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah : “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (Al Baqoroh : 219)[7]

§  Macam-macam Asuransi
a.       Asuransi Kerugian
Adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya. Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.
b.      Asuransi Jiwa
Adalah perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat dari premi dan yang berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang termasuk juga perjanjian asuransi kembali uang dengan pengertian catatan dengan perjanjian dimaksud tidak termasuk perjanjian asuransi kecelakaan (yang masuk dalam asuransi kerugian) berdasarkan pasal 1a Bab I Staatblad 1941-101).
Dalam asuransi jiwa (yang mengandung SAVING) penanggung akan tetap mengembalikan jumlah uang yang diperjanjikan, kepada tertanggung :
o   Kalau tertanggung meninggalkan dalam masa berlaku perjanjian
o   Pada saat berakhirnya jangka waktu perjanjian keperluannya sukarela
c.       Asuransi Sosial
Adalah asuransi yang memberikan jaminan kepada masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah, yaitu Asuransi kecelakaan Lalu Lintas (Jasa Raharja), asuransi TASPEN, ASTEK, ASKES, ASABRI.
Sifat asuransi sosial, dapat bersifat asuransi kerugian dan dapat bersifat asuransi jiwa.[8]
Asuransi jiwa hukumnya haram kecuali apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :
v  Apabila asuransi jiwa tersebut mengandung unsur saving (tabungan)
v  Pada waktu menyerahkan yang premi, pihak tertanggung berniat untuk menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi)
v  Pihak penanggung berniat menyimpan uang tabungan milik pihak tertanggung dengan cara-cara yang dibenarkan atau dihalalkan oleh syariat agama Islam
v  Apabila sebelum jatuh tempo yang telah disepakati bersama antara pihak tertanggung dan pihak menanggung seperti yang telah disebutkan dalam polis (surat perjanjian), ternyata pihak penanggung sangat memerlukan (keperluan yang bersifat darurat) uang tabungannya, maka pihak tertanggung dapat mengambil atau menarik kembali sejumlah uang simpanannya dari pihak penanggung dan pihak penanggung berkewajiban menyerahkan sejumlah uang tersebut kepadanya.
v  Apabila pada suatu ketika pihak tertanggung terpaksa tidak dapat membayar uang premi, maka :
-          Uang premi tersebut menjadi hutang yang dapat diangsur oleh pihak tertanggung pada waktu-waktu pembayaran uang premi berikutnya
-          Hubungan antara pihak tertanggung dan pihak penanggung dinyatakan tidak putus
-          Uang tabungan milik pihak tertanggung tidak dinyatakan hangus oleh pihak penanggung
-          Apabila sebelum jatuh tempo pihak tertanggung meninggal dunia maka ahli warisnya berhak untuk mengambil sejumlah uang simpanannya, sedang pihak penanggung berkewajiban mengembalikan sejumlah uang tersebut.[9]
v  Pendapat Yang Menolak Asuransi
a.       Dr. Muhammad Yusuf al-Qardhawi (1980 : 257-261)
Beliau menolak praktek asuransi dewasa ini, karena dipandangnya bertentangan dengan syari’ah Islam, antara lain :
ü  Semua anggota asuransi tidak membayar uangnya dengan maksud menyumbang (tabarru’), bahkan tidak ada niat sedikitpun terlintas padanya.
ü  Badan asuransi memutar uangnya dengan jalan riba, sedangkan setiap muslim tidak dibenarkan (bersyerikat dengan perjanjian riba).
ü  Apabila telah habis waktu yang telah ditentukan, anggota asuransi mengambil dari perusahaan sejumlah uang yang disetor dan sejumlah tambahan, apakah ini bukan riba ?
ü  Barang siapa yang akan menarik kembali setorannya dari perusahaan asuransi, maka dia akan dikenakan kerugian yang cukup besar, sedang pengurangan dari jumlah yang telah disetor sama sekali tidak dapat dibenarkan oleh hukum Islam
b.      Muhammad al-Gahazali dalam Farid Ma’ruf (1986 : 251) menyatakan bahwa di dalam asuransi terdapat perbuatan-perbuatan riba yang diharamkan, antara lain :
ü  Apabila waktu perjanjian telah habis, maka premi dikembalikan kepada terjamin dengan disertai bunganya dan ini adalah riba.
ü  Ganti kerugian diberikan kepada terjamin pada waktu terjadinya peristiwa yang disebutkan di dalam polis
ü  Asuransi seperti ini, dalam berusaha mendekati pada usaha lottery, karena hanya sebagian kecil dari sejumlah orang yang membutuhkan dapat mengambil manfaatnya
ü  Dalam menjalankan usahanya, asuransi banyak berorientasi pada konteks riba (pinjaman berbunga)
ü  Asuransi dengan arti ini merupakan salah satu alat berbuat dosa
v  Pendapat yang Membolehkan Asuransi
a.       Dr. Abdul Wahab Khallaf (1988 : 169-174)
Beliau membolehkan, karena diidentikkan dengan mudharabah, yang pada pokoknya perjanjian persekutuan dalam keuntungan, dengan modal diberikan oleh satu pihak (anggota asuransi) dan yang menjalankan usaha dari pihak lain (pelaksana perusahaan)
b.      Syekh Ali al-Khafiq (Anggota Lembaga Penelitian Al-Azhar)
Setelah melalui pengkajian mendalam, beliau berkesimpulan bahwa asuransi menurut hukum Islam (syara’) boleh, alasannya sebagai berikut :
انّه عقد مستحدث لم يتنا له يتنا وله نفى خاص ولم يشمله من خاطر والاصل فى ذلك الجوز والإباحة.
أ‌.         انّه عقد يؤدى الى مصالح بينها وزنها ولم يكن من ورائه مرر إذا ثبقت المصلحات فثم حكم الله
ب‌.     انّه اصبح عرفًا دعت اليه مصلحة عامة ومصلحة شخصية ولعرف من الأدلة الشرعية
ت‌.     انّ الحاجة تدعو اليه وهى الحاجة تصارب الضرورة ومعها ان يكون الاشتباه إذ فرض وكان فيه شبهة.
ث‌.     أن فيه التزاماً قويا من التزام الوعد وقد ذهب الملكية الى وجوب القضاء به.

Artinya : Aqad yang relatif (fleksibel) yang tidak tersentuh naif, yakni naif yang memiliki pembatalan khusus dan tidak sampai membahayakan, dan segala sesuatu asalnya adalah boleh.

a)      Sesungguhnya aqad itu mempunyai tujuan yang baik diantara dua yang telah disebutkan serta tidak dilatarbelakangi oleh ilat (sebab)
b)      Sesungguhnya aqad itu menjadi suatu kebiasaan, mengajak kepada kemaslahatan umum dna kemaslahatan yang bersifat pribadi, dan kebiadaan itu merupakan salah satu dalil syari’ah
c)      Sesungguhnya kebutuhan yang diinginkan ialah kebutuhan yang diperlukan dan tidak meragukan, apakah ia menjadi suatu kewajiban, maka disanalah terdapat keraguan
d)     Sesungguhnya dalam aqad itu ada komitmen yang lebih kuat dari kesepakatan yang diperjanjikan. Menurut mazhab maliki, hal itu wajib diqadha (Muhammad Muslechuddin, 1969 : 42)[10]

C.    Hukum Katak dan Kepiting
a.       Hukum Kepiting
Dalam keputusan fatwa komisi fatwa majelis ulama Indonesia tentang kepiting, bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya. Oleh karena itu, komisi fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting sebagai pedoman bagi umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.
Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya antara lain :
Artinya :  “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al Baqoroh : 168)

Dalam sebuah hadits telah disebutkan bahwa,
Artinya :  “Yang halal itu sudah jelas dan yang harampun sudah jelas, dan diantara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya, barang siapa hati-hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya.” (H.R. Muslim)

Ada 4 (empat) jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas yaitu :
v  Scylla Serrata
v  Scylla tranquebarrica
v  Scylla olivacea
v  Scylla pararnarnosain
Kepiting adalah HALAL dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia.[11]
b.      Hukum Katak
Telah diriwayatkan larangan membunuh katak, ini berarti memakan katak adalah dilarang sebab tidak memakan katak mesti membunuhnya. Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan di dalam sunnahnya dari Sahl bin Sa’d as-sa’idi, antara lain :
انّ النبي صلّى الله عليه و سلّم عن قتل خمسة: النملت وانخلة والضنفدع والصّرد والهوهد

Artinya : “Nabi Muhammad SAW bersabda, bahwa telah melarang membunuh lima hal : semut, lebah, katak, burung Nabi Shurad (berkepala besar, hijau punggungnya dan putih perutnya, memangsa burung-burung kecil) dan burung hud-hud.” (H.R Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani : Shahih al-Jami’ : Baihaqi dari Abu Hurairah 6987, Shahih Ibnu Majah : 2608))

Maka larangan tersebut menunjukkan bahwa katak haram dimakan, dikarenakan tidak termasuk golongan hewan air yang dibolehkan dimakan, jika untuk obat saja tidak diperbolehkan apalagi untuk dikonsumsi biasa. Barangkali hikmah larangan membunuh katak adalah bahwa korekan katak adalah dia berkata :
لا تقتلوالضّفادع فانّ نفيقها تسبيح
Janganlah kalian membunuh katak, dikarenakan korekannya adalah tasbih.” (HR. Al-Baihaqi)[12]

IV.        ANALISIS
Yang disunahkan dalam menyemir rambut adalah menyemir rambut yang telah beruban dengan warna selain hitam, bahan yang digunakan pun, menurut Syaikh Ibnu Jibrin, haruslah sesuai dengan yang terdapat dalam hadits. Adapun menyemir rambut yang belumberuban, dari beberapa fatwa yang ada memang tidak ada yang melarang. Namun tidak selalunya, yang dibolehkan dalam syariat selalu layak dilakukan. Dalam beberapa kondisi ada beberapa hal yang dibolehkan syariat, namun kurang pantas menurut urf atau persepsi masyarakat setempat juga situasi dan kondisi. Tentunya kita akan merasa aneh jika melihat seorang da’i tapi rambutnya disemir warna-warni. Para ulama sendiri sangat mengkhawatirkan jika hal itu dilakukan hanya karena ingin meniru budaya orang kafir.
Akad asuransi konvensional banyak sekali mengandung hal-hal yang kurang pasti alias akad gharar. Maksudnya masing-masing pihak penanggung dan tertanggung tidak mengetahui secara pasti jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil, pada waktu melangsungkan akad.
Orang yang ikut asuransi ini tidak bisa mengetahui dengan pasti berapakah yang akan didapatnya dari ikut sertanya dalam sistem ini. Demikian juga, perusahaan asuransi pun tidak dapat mengetahui dengan pasti, seberapa besar akan mengambil uang dari nasabahnya. Kalau pun ada, semuanya masih berupa perkiraan atau asumsi. Padahal seharusnya akad ini merupakan akad yang jelas, berapa yang harus dibayar dna apa yang akan didapat.
V.           PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, mungkin makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun yang kami tunggu. Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan baru bagi kita dan bermanfaat. Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar