HUKUM
MENYEMIR RAMBUT, ASURANSI JIWA, KATAK DAN KEPITING
I.
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama fitrah memiliki
corak ajaran yang berbeda dengan agama-agama lainnya. Dari perbedaan itu pula
maka umat Islam diharapkan memiliki identitas yang berbeda dengan umat agama
lain. Perbedaan mendasar antara umat Islam dengan umat agama lain ini
dimaksudkan agar mereka menentukan kiprahnya dan karakteristiknya menurut
Islam.
Orang memperindah diri tidak hanya
dengan pakaian saja, tetapi ada juga yang berhias dengan hiasan-hiasan lainnya,
seperti gelang, cincin, kalung dan anting-anting. Kulit dirawat, supaya tetap
halus dan lembut. Rambut yang sudah memutih disemir (dicat), supaya kelihatan
rapi dan lebih muda lagi, kukupun diberi warna, supaya kelihatan lebih cantik
dan menarik.
Manusia pada umumnya sangat cinta
kepada keindahan, dan rasa estetika pada diri manusia sebenarnya tidak
bertentangan dengan Islam, asalkan keindahan itu tidak menjurus kepada maksiat
seperti melihat wanita dengan pakaian yang sangat minim, apakah dalam bentuk
gambar ataupun dalam bentuk wujud manusia yang sebenarnya “Allah Maha Indah dan
Mencintai Keindahan”.
Di bawah ini akan dijelaskan,
bagaimana hukumnya memperindah rambut dengan cara menyemir, asuransi jiwa,
katak dan kepiting.
II.
PERMASALAHAN
A.
Hukum menyemir rambut
B.
Hukum Asuransi jiwa
C.
Hukum Katak dan Kepiting
III.
PEMBAHASAN
A. Hukum Menyemir Rambut
Kini menyemir rambut hanya untuk
menutupi uban, tapi sudah menjadi trend. Sekedar gaya dan untuk tampil beda.
Seperti biasnaya, sesuatu berubah menjadi trend dan ditiru jika para selebritis
mulai gemar memakainya, demikian pula trend mewarnai rambut. Aplagi alat-alat
kosmetik yang bias dipakai pun semakin mudah didapat dnegan harga terjangkau.
Bukan perkara krusal memang, tapi
tentunya sebagai muslim kita tidak bias sekedar ikut-ikutan. Perlu dikaji dulu,
bagaimana syariat menilainya. Perlu juga pertimbangan mashlahat dan madharat
yang proporsional karena beberapa perkara berkaitan erat dengan situasi,
kondisi atau kebiasaan, juga norma masyarakat setempat.[1]
Menyemir rambut, tidak hanya sekarang
saja dipersoalkan orang, tetapi sejak zaman Rasulullah SAW. Pun sudah menjadi
pembicaraan.[2]
Dalam tinjauan fikih, menyemir rambut
untuk uban pda dasarnya adalah sunah. Dalam pembahasan ini dibagi menjadi
beberapa point :
·
Pertama, menyemir rambut dengan
warna hitam
Ada dua kondisi, dibolehkan dalam
jihad dan peperangan. Ibnu Hajar mengatakan, “Dan dikecualikan dari larangan
itu bagi seorang mujahid menurut kesepakatan. Tujuannya adalah untuk irhab,
atau meneror musuh. Karena musuh akan mengira pasukan Islam terdiri dari kaum
muda semua. Kondisi kedua dilarang jika digunakan untuk menipu.
·
Kedua, menyemir rambut dengan
selain warna hitam
Jika rambut telah berubah maka
disunahkan menyemirnya dengan warna selain warna hitam.[3]
Jumhur ulama berbeda pendapat tentang
menyemir rambut. Perbedaan ini tidak saja sebatas pada warna, tetapi juga pada
alat lain. Ini berarti warna sangat bergantung pada kebiasaan pemakainya. Untuk
memperoleh kejelasan terhadap perbedaan pendapatan jumhur sekitar menyemir
rambut, maka disimak beberapa sebagai berikut :
Ø Sa’ad bin Abi Waqqash, Uqbah bin Amir, Hasan, Husain, Jarir, dan
sebagainya membolehkan menyemir rambut dengan warna hitam. Sedangkan ulama lain
tidak membolehkan, kecuali dalam keadaan perang. Pendapat yang membolehkan
menyemir rambut dengan warna hitam mendasarkan pada hadis yang diriwayatkan
oleh Imam al-Turmudzi dan Ashhab al-sunan sebagai berikut :
عن
سعيد الخدر رضي الله عنه قال رسول الله صلىّ الله عليه وسلّم: انّ احسن ما غير ثمّ
به الثيب الجناء والكتم. (رواه الترمذى)
“ Dari Said Al-hudriyyi ra. Nabi Muhammad SAW
bersabda : Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir rambut ialah pohon
inai dan katam.” (al Turmudzi)
Ø Ulama lain menyatakan makruh menyemir rambut dengan warna hitam.
Pendapat ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW :
عن
عا ئشة رضى الله عنها قالت: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: غيرواهما واحنبوه
السّوّاد (رواه مسلم)
“Dari Aisyah ra.
Berkata, Rasulullah SAW bersabda : Bahwa menyemir dengan pohon inai boleh,
tetapi jauhilah warna hitam.” (H.R. Muslim)
Ø Imam al-Zuhri menyatakan bahwa kami menyemir rambut dengan warna
hitam apabila wajah masih tampak muda, tetapi bila mulai mengerut kami
tinggalkan warna hitam itu.
Ketiga pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa menyemir rambut dibolehkan oleh Islam, sementara nahannya
sangat bergantung pada kecocokan dan kondisi yang dihadapi.[4]
Dalam riwayat lain, Nabi bersabda :
انّ
اليهود والنصارى لا يصبغون فنها لفوهم (رواه البخارى)
“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani tidak
menyemir (mengecat) rambut mereka. Karena itu, hendaklah kamu berbeda dengan
mereka (dengan menyemir rambutmu)”. (H.R. Bukhari)
Berlandaskan kepada hadis di atas,
maka sebagian sahabat seperti Abu Bakar dan Umar menyemir rambutnya, sedangkan
yang lainnya tidak, seperti Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab dan Anas.[5]
B. Hukum Asuransi Jiwa
Asuransi menurut bahasa
“insurensi” –itali “verzekering” –Belanda “insurance” –Inggris (Wirjono
Projodikoro, 1979 : 1) dan “ta’min” –Arab (Atabik Ali, 1996 : 389), artinya
jaminan atau pertanggungan.
Menurut istilah, asuransi adalah
suatu akad dimana penjamin dengan kehendak akad tersebut berkewajiban membayar
kepada si terjamin atau kepada orang yang mendapat laba, disyaratkan bahwa
al-ta’min yang dilaksanakan untuk kebaikan karena akibat dari harta atau
pembayaran secara tertib atau ganti rugi dari harta yang lain ketika terjadi
suatu kecelakaan maupun bahaya yang tertera dalam akan (Hasyim Ali, 1995 : 3)[6]
Dari risalah Syaikh Bakhit Mubti Mesir dalam majalah
Nurul Islam No. 6 Jilid I halaman 267, bahwa :
وامّا
التأمين على الحياة فهو ابعد عن العقل السّليم واوجب لدّ نفشة والاستغراب
“Artinya : Adapun gadai kehidupan (asuransi jiwa) itu
sangat tidak cocok menurut akal yang sehat dan menjadikan kebingungan dan
kelangkaan.”
Di dalam Al Qur’an dijelaskan, bahwa :
Artinya : Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi, katakanlah : “Pada keduanya itu terdapat dosa besar
dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya.” Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah
: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir.” (Al Baqoroh : 219)[7]
§ Macam-macam Asuransi
a.
Asuransi Kerugian
Adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada
tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya. Penanggung
tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu
perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang
dipertanggungkan.
b.
Asuransi Jiwa
Adalah perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat
dari premi dan yang berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang termasuk
juga perjanjian asuransi kembali uang dengan pengertian catatan dengan perjanjian
dimaksud tidak termasuk perjanjian asuransi kecelakaan (yang masuk dalam
asuransi kerugian) berdasarkan pasal 1a Bab I Staatblad 1941-101).
Dalam asuransi jiwa (yang mengandung
SAVING) penanggung akan tetap mengembalikan jumlah uang yang diperjanjikan,
kepada tertanggung :
o
Kalau tertanggung meninggalkan
dalam masa berlaku perjanjian
o
Pada saat berakhirnya jangka
waktu perjanjian keperluannya sukarela
c.
Asuransi Sosial
Adalah asuransi yang memberikan jaminan kepada
masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah, yaitu Asuransi kecelakaan Lalu
Lintas (Jasa Raharja), asuransi TASPEN, ASTEK, ASKES, ASABRI.
Sifat asuransi sosial, dapat
bersifat asuransi kerugian dan dapat bersifat asuransi jiwa.[8]
Asuransi jiwa hukumnya haram
kecuali apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :
v Apabila asuransi jiwa tersebut mengandung unsur saving (tabungan)
v Pada waktu menyerahkan yang premi, pihak tertanggung berniat untuk
menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi)
v Pihak penanggung berniat menyimpan uang tabungan milik pihak
tertanggung dengan cara-cara yang dibenarkan atau dihalalkan oleh syariat agama
Islam
v Apabila sebelum jatuh tempo yang telah disepakati bersama antara
pihak tertanggung dan pihak menanggung seperti yang telah disebutkan dalam
polis (surat perjanjian), ternyata pihak penanggung sangat memerlukan
(keperluan yang bersifat darurat) uang tabungannya, maka pihak tertanggung
dapat mengambil atau menarik kembali sejumlah uang simpanannya dari pihak
penanggung dan pihak penanggung berkewajiban menyerahkan sejumlah uang tersebut
kepadanya.
v Apabila pada suatu ketika pihak tertanggung terpaksa tidak dapat
membayar uang premi, maka :
-
Uang premi tersebut menjadi
hutang yang dapat diangsur oleh pihak tertanggung pada waktu-waktu pembayaran
uang premi berikutnya
-
Hubungan antara pihak
tertanggung dan pihak penanggung dinyatakan tidak putus
-
Uang tabungan milik pihak
tertanggung tidak dinyatakan hangus oleh pihak penanggung
-
Apabila sebelum jatuh tempo
pihak tertanggung meninggal dunia maka ahli warisnya berhak untuk mengambil
sejumlah uang simpanannya, sedang pihak penanggung berkewajiban mengembalikan
sejumlah uang tersebut.[9]
v Pendapat Yang Menolak Asuransi
a.
Dr. Muhammad Yusuf al-Qardhawi
(1980 : 257-261)
Beliau
menolak praktek asuransi dewasa ini, karena dipandangnya bertentangan dengan
syari’ah Islam, antara lain :
ü Semua anggota asuransi tidak membayar uangnya dengan maksud
menyumbang (tabarru’), bahkan tidak ada niat sedikitpun terlintas padanya.
ü Badan asuransi memutar uangnya dengan jalan riba, sedangkan setiap
muslim tidak dibenarkan (bersyerikat dengan perjanjian riba).
ü Apabila telah habis waktu yang telah ditentukan, anggota asuransi
mengambil dari perusahaan sejumlah uang yang disetor dan sejumlah tambahan,
apakah ini bukan riba ?
ü Barang siapa yang akan menarik kembali setorannya dari perusahaan
asuransi, maka dia akan dikenakan kerugian yang cukup besar, sedang pengurangan
dari jumlah yang telah disetor sama sekali tidak dapat dibenarkan oleh hukum
Islam
b.
Muhammad al-Gahazali dalam
Farid Ma’ruf (1986 : 251) menyatakan bahwa di dalam asuransi terdapat
perbuatan-perbuatan riba yang diharamkan, antara lain :
ü Apabila waktu perjanjian telah habis, maka premi dikembalikan kepada
terjamin dengan disertai bunganya dan ini adalah riba.
ü Ganti kerugian diberikan kepada terjamin pada waktu terjadinya
peristiwa yang disebutkan di dalam polis
ü Asuransi seperti ini, dalam berusaha mendekati pada usaha lottery,
karena hanya sebagian kecil dari sejumlah orang yang membutuhkan dapat
mengambil manfaatnya
ü Dalam menjalankan usahanya, asuransi banyak berorientasi pada
konteks riba (pinjaman berbunga)
ü Asuransi dengan arti ini merupakan salah satu alat berbuat dosa
v Pendapat yang Membolehkan Asuransi
a.
Dr. Abdul Wahab Khallaf (1988 :
169-174)
Beliau
membolehkan, karena diidentikkan dengan mudharabah, yang pada pokoknya
perjanjian persekutuan dalam keuntungan, dengan modal diberikan oleh satu pihak
(anggota asuransi) dan yang menjalankan usaha dari pihak lain (pelaksana
perusahaan)
b.
Syekh Ali al-Khafiq (Anggota
Lembaga Penelitian Al-Azhar)
Setelah
melalui pengkajian mendalam, beliau berkesimpulan bahwa asuransi menurut hukum
Islam (syara’) boleh, alasannya sebagai berikut :
انّه
عقد مستحدث لم يتنا له يتنا وله نفى خاص ولم يشمله من خاطر والاصل فى ذلك الجوز
والإباحة.
أ.
انّه عقد يؤدى الى
مصالح بينها وزنها ولم يكن من ورائه مرر إذا ثبقت المصلحات فثم حكم الله
ب.
انّه اصبح عرفًا دعت
اليه مصلحة عامة ومصلحة شخصية ولعرف من الأدلة الشرعية
ت.
انّ الحاجة تدعو اليه
وهى الحاجة تصارب الضرورة ومعها ان يكون الاشتباه إذ فرض وكان فيه شبهة.
ث.
أن فيه التزاماً قويا
من التزام الوعد وقد ذهب الملكية الى وجوب القضاء به.
Artinya : Aqad yang relatif (fleksibel) yang tidak tersentuh naif, yakni naif
yang memiliki pembatalan khusus dan tidak sampai membahayakan, dan segala
sesuatu asalnya adalah boleh.
a)
Sesungguhnya aqad itu mempunyai
tujuan yang baik diantara dua yang telah disebutkan serta tidak
dilatarbelakangi oleh ilat (sebab)
b)
Sesungguhnya aqad itu menjadi
suatu kebiasaan, mengajak kepada kemaslahatan umum dna kemaslahatan yang
bersifat pribadi, dan kebiadaan itu merupakan salah satu dalil syari’ah
c)
Sesungguhnya kebutuhan yang
diinginkan ialah kebutuhan yang diperlukan dan tidak meragukan, apakah ia
menjadi suatu kewajiban, maka disanalah terdapat keraguan
d)
Sesungguhnya dalam aqad itu ada
komitmen yang lebih kuat dari kesepakatan yang diperjanjikan. Menurut mazhab
maliki, hal itu wajib diqadha (Muhammad Muslechuddin, 1969 : 42)[10]
C. Hukum Katak dan Kepiting
a.
Hukum Kepiting
Dalam keputusan fatwa komisi fatwa
majelis ulama Indonesia tentang kepiting, bahwa di kalangan umat Islam
Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya.
Oleh karena itu, komisi fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang
status hukum mengkonsumsi kepiting sebagai pedoman bagi umat Islam dan
pihak-pihak lain yang memerlukannya.
Firman Allah SWT tentang keharusan
mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan
hewani, dan sejenisnya antara lain :
Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.” (Al Baqoroh : 168)
Dalam sebuah hadits telah
disebutkan bahwa,
Artinya : “Yang halal itu sudah jelas dan yang
harampun sudah jelas, dan diantara keduanya ada hal-hal yang musytabihat
(syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak
mengetahui hukumnya, barang siapa hati-hati dari perkara syubhat sungguh ia
telah menyelamatkan agama dan harga dirinya.” (H.R. Muslim)
Ada 4 (empat) jenis kepiting bakau
yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas yaitu :
v Scylla Serrata
v Scylla tranquebarrica
v Scylla olivacea
v Scylla pararnarnosain
Kepiting adalah HALAL dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya
bagi kesehatan manusia.[11]
b.
Hukum Katak
Telah diriwayatkan larangan membunuh
katak, ini berarti memakan katak adalah dilarang sebab tidak memakan katak
mesti membunuhnya. Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan di dalam sunnahnya dari
Sahl bin Sa’d as-sa’idi, antara lain :
انّ
النبي صلّى الله عليه و سلّم عن قتل خمسة: النملت وانخلة والضنفدع والصّرد والهوهد
Artinya : “Nabi Muhammad SAW bersabda, bahwa telah
melarang membunuh lima hal : semut, lebah, katak, burung Nabi Shurad (berkepala
besar, hijau punggungnya dan putih perutnya, memangsa burung-burung kecil) dan
burung hud-hud.” (H.R Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani : Shahih
al-Jami’ : Baihaqi dari Abu Hurairah 6987, Shahih Ibnu Majah : 2608))
Maka larangan tersebut menunjukkan
bahwa katak haram dimakan, dikarenakan tidak termasuk golongan hewan air yang
dibolehkan dimakan, jika untuk obat saja tidak diperbolehkan apalagi untuk
dikonsumsi biasa. Barangkali hikmah larangan membunuh katak adalah bahwa
korekan katak adalah dia berkata :
لا تقتلوالضّفادع
فانّ نفيقها تسبيح
“Janganlah kalian
membunuh katak, dikarenakan korekannya adalah tasbih.” (HR. Al-Baihaqi)[12]
IV.
ANALISIS
Yang disunahkan dalam menyemir rambut
adalah menyemir rambut yang telah beruban dengan warna selain hitam, bahan yang
digunakan pun, menurut Syaikh Ibnu Jibrin, haruslah sesuai dengan yang terdapat
dalam hadits. Adapun menyemir rambut yang belumberuban, dari beberapa fatwa
yang ada memang tidak ada yang melarang. Namun tidak selalunya, yang dibolehkan
dalam syariat selalu layak dilakukan. Dalam beberapa kondisi ada beberapa hal
yang dibolehkan syariat, namun kurang pantas menurut urf atau persepsi
masyarakat setempat juga situasi dan kondisi. Tentunya kita akan merasa aneh
jika melihat seorang da’i tapi rambutnya disemir warna-warni. Para ulama
sendiri sangat mengkhawatirkan jika hal itu dilakukan hanya karena ingin meniru
budaya orang kafir.
Akad asuransi konvensional banyak
sekali mengandung hal-hal yang kurang pasti alias akad gharar. Maksudnya
masing-masing pihak penanggung dan tertanggung tidak mengetahui secara pasti
jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil, pada waktu melangsungkan
akad.
Orang yang ikut asuransi ini tidak
bisa mengetahui dengan pasti berapakah yang akan didapatnya dari ikut sertanya
dalam sistem ini. Demikian juga, perusahaan asuransi pun tidak dapat mengetahui
dengan pasti, seberapa besar akan mengambil uang dari nasabahnya. Kalau pun
ada, semuanya masih berupa perkiraan atau asumsi. Padahal seharusnya akad ini
merupakan akad yang jelas, berapa yang harus dibayar dna apa yang akan didapat.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
sajikan, mungkin makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran
yang membangun yang kami tunggu. Semoga makalah ini dapat memberikan
pengetahuan baru bagi kita dan bermanfaat. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar