I.
PENDAHULUAN
Filsafat sebagai induk dari berbagai macam ilmu yang ada memiliki
kajian atau pembahasan yang sangat luas. Filsafat sebagai ilmu berbeda dari
ilmu pengetahuan biasa, filsafat diperoleh dan dikembangkan secara sistematis
betapapun ia bermula dari pengalaman sehari-hari. filsafat sebagai ilmu
berobjekkan segala sesuatu, dalam arti ia tidak hanya terbatas pada satu atau
berbagai macam objek tertentu sebagaimana halnya dalam ilmu-ilmu.
Banyak sekali cabang dari filsafat, diantaranya adalah filsafat
tentang manusia atau yang biasa disebut antropologi, filsafat pengetahuan atau
epistemologi, dan sebagainya. Banyak pandangan atau pendapat tentang filsafat
manusia dan filsafat pengetahuan yang dikemukakan oleh para filosof.
Lewat makalah ini saya mencoba sedikit menguraikan tentang
pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat tentang konsep maupun isi dari
filsafat tentang manusia dan filsafat pengetahuan.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
pandangan filsafat tentang manusia?
B.
Bagaimana
pandangan filsafat tentang ilmu pengetahuan?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pandangan
Filsafat Tentang Manusia
Filsafat manusia berikhtiar membuat refleksi tentang hakikat
manusia yang merupakan makhluk yang berdimensi majemuk. Karena dia berbicara tentang
manusia, dia tidak bisa dipisahkan dari berbagai ilmu sosial dan humaniora,
yang juga berbicara tentang manusia dari berbagai segi tinjauan sesuai dengan
obyek formalnya. Filsafat manusia atau filsafat antropologi adalah nama yang lebih modern dari psikologi
filsafat.[1]
Nama terakhir ini sudah hampir tidak digunakan lagi karena penggunaan nama ini
untuk suatu uraian tentang manusia sangat mengelirukan. Sesuai dengan namannya,
psikologi mengandaikan penekanan hanya diberikan pada aspek psikis dari seorang
manusia. Pandangan ini juga tidak bisa dipertanggungjawabkan karena studi
psikologi juga mengandaikan suatu studi
yang lengkap tentang manusia dari aspek psikis maupun aspek somatik atau
badani. Dalam diri manusia aspek psikis tidak mungkin akan dicermati dengan
baik tanpa memperhitungkan aspek lahiriah atau badaniahnya.
Dalam kaitannya dengan diskusi-diskusi tentang filsafat manusia
ini, kita juga mengenal sejumlah disiplin khusus lain yang berkaitan erat dan
termasuk dalam filsafat tentang ilmu-ilmu kemanusiaan seperti fiilsafat bahasa,
filsafat sejarah, filsafat pendidikan dan filsafat kebudayaan.[2]
Berbicara tentang hakikat fitrah manusia, apabila kita teliti
secara seksama bahwa sesungguhnya makhluk tuhan yang bernama manusia itu sebenarnya
mempunyai beberapa predikat yang masing-masing hakikat itu sendiri tidak dapat
dipisah-pisahkan menjadi sebuah bagian yang berdiri sendiri. Karena jika salah
satu dari hakikat manusia itu tidak ada salah satunya maka tidak bisa dikatakan
sebagai manusia yang sempurna, baik dimata Tuhan atau dimata manusia.
Sebagaimana dikatakan Amir Daien Indrakusuma, bahwa sebenarnya manusia hidup
itu mempunyai beberapa hakikat, yaitu:
1.
Manusia
itu mempunyai hakikat sebagai makhluk dwi tunggal. Yaitu terdiri dari dua unsur
yaitu unsur rohaniah dan jasmaniah. Dari kedua unsur tersebut, terbagi lagi
atas segi-segi atau aspek-aspek kejiwaan. Adapun aspek-aspek kejiwaan yang
penting diantaranya; aspek moral dan aspek sosial, aspek intelektual, aspek
estetis dan aspek religius.
2.
Manusia
itu memiliki dua sifat hakiki yaitu sebagai makhluk individual dan sebagai
makhluk sosial. Sebagi makhluk individual, manusia mempunyai sifat-sifat yang
khas, yang berbeda satu dan yang lainnya. Sebagai makhluk sosial, manusia
mempunyai naluri untuk hidup bersama, berkelompok, dan hidup bermasyarakat.
3.
Manusia
mempunyai hakikat sebagai makhluk susila atau makhluk ber-Tuhan. Manusia
memiliki sifat atau dikaruniai kemampuan untuk dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang tidak baik menurut ukuran kesusilaan.[3]
Kesimpulannya adalah apabila dari beberapa hakikat sifat manusia
itu semua terpenuhi secara wajar dan tidak ada unsur keterpaksaan, maka dapat
diyakini bahwa seseorang tersebut tergolong dengan apa yang dinamakan insan
kamil.
Dalam buku “Falsafat Pendidikan Islam” yang ditulis oleh Omar Mohammad Al-Toumy
syaibany dijelaskan tentang pandangan islam terhadap manusia menjadi 8 prinsip
penting, yaitu:
1.
Kepercayaan
bahwa manusia itu makhluk termulia di dalam jagat raya ini.
2.
Kepercayaan
bahwa manusia mempunyai tiga dimensi; badan, akal, ruh.
3.
Kepercayaan
akan kemulyaan manusia.
4.
Kepercayaan
bahwa manusia itu hewan yang berfikir.
5.
Kepercayaan
bahwa manusia dalam perubahannya selalu terpengaruh oleh faktor-faktor warisan
dan alam lingkungan.
6.
Kepercayaan
bahwa manusia mempunyai motivasi dan kebutuhan.
7.
Kepercayaan
bahwa manusia mempunyai keluwesan sifat dan selalu berubah.
8.
Kepercayaan
bawa ada perbedaan perorangan diantara manuisia.[4]
Aliran filsafat materialisme, naturalisme dan eksistensialisme,
juga mazdhab-mazdhab pemikiran historisme, sosiologis, dan biologisme,
ajaran-ajarannya pada akhirnya membakukan pendapatnya bahwa manusia adalah
makhluk yang tidak berdaya dan tidak mampu keluar dari lingkungan eksternalnya.
Menurut ontologi progessivisme, sesungguhnya manusia di dunia ini
mampu hidup karena potensi (fungsi) jiwa yang ia miliki, dan makhluk yang lain
akan tetap hidup dan berkembang jika ia mampu mengatasi perubahan dan berani
bertindak. Progessivisme mempercayai bahwa manusia adalah sebagai subyek yang
memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya yang
multikomplek dengan skill dan kekuatan sendiri. Dan dengan kemampuan itu
manusia dapat memecahkan semua problemanya.[5]
Protagoras sebagai bapak relativisme yang lahir sekitar tahun 485
SM, mengatakan bahwa “manusia ukuran segalanya”, yang artinya tidak ada
kebenaran kecuali yang dicerap manusia. Dasar pandangan ini adalah tidak ada
satu hal pun di dunia ini yang dapat terus mempertahankan hakikatnya dengan
kekuatannya sendiri. Karena, segala sesuatu memperoleh hakikat mereka lewat
interaksi dengan hal-hal lainnya. Tidak ada yang sebagaimana adanya karena
semuanya masih berproses menjadi dan proses menjadi ini adalah menjadi relatif
bagi yang lain. Warna putih contohnya, tidak berasal dari dalam atau atau luar
mata kita. Karena, warna tersebut sesungguhnya adalah hasil dari interaksi
antara diri anda dan sesuatu yang anda cerap. Hal seperti ini dipegang sebagai
prinsip bagi semua hasil kualitas pencerapan. Jika angin terasa panas bagiku
dan dingin bagimu, maka angin memang kedua-duanya, panas bagiku dan dingin
bagimu. Namun tidak berarti angin tersebut panas dan dingin sekaligus karena ia
tidak memiliki temperatur dalam dirinya sendiri, tetapi hanya dalam relasinya
dengan mereka yang merasakan.[6]
Secara universal tujuan hidup manusia adalah memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat. Kebahagiaan itu sendiri sangat relatif sehingga
masing-masing orang akan berbeda dalam memaknai arti bahagia itu sendiri. Ada
yang menilai kekayaan harta benda sebagai sumber kebahagiaan hidup, yang
lainnya menitik beratkan pada keindahan, pengetahuan, kesusilaan, kekuasaan,
budi pekerti, keshalehan hidup, keagamaan dan sebagainya.
Dalam keberagaman pandangan hidup yang berbeda itu, oleh ahli pikir
disusun secara sistematis lalu timbulluah falsafah hidup manusia, yang di
dalamnya terdapat pokok bahasan misalnya; darimana asalnya hidup, siapa pemberi
hidup, apa tujuan hidup, apa yang akan terjadi sesudah mati, apakah hidup
bahagia itu, dan sebagainya.
Para ahli filsafat sependapat tentang tujuan akhir yang diinginkan
oleh manusia itu, yakni kebahagiaan. Setiap manusia ingin bahagia. Untuk
mencapai kebahagiaan itu bermacam-macam jalan yang ingin ditempuh oleh manusia dengan
melalui tujuan sementaranya masing-masing. Setiap manusia ingin baik. Tujuan
sementarapun harus merupakan kebaikan-kebaikan. Dan tujuan terakhir itulah yang
disebut “Summum Bonum”. Dan summum bonum itulah kebahagiaan tertinggi
yang ingin dicapai manusia. Karena anggapan baik ini bermacam-macam
interpretasi dan perkiraan masing-masing, maka terjadilah bermacam-macam usaha
perbuatan yang dilakukan yang juga berbeda-beda.
Namun sesungguhnya tugas utama manusia sendiri buka mencari sebuah
kebahagiaan semata. Karena secara tidak langsung manusia hanya menjalankan
fungsi haknya dibandingkan dengan menjalankan fungsi kewajibannya. Karena kalau
kita ingat bahwa manusia disamping mempunyai status sebagai makhluk dan bagian
dari alam, manusia juga mempunyai tugas sebagai khalifah atau penguasa dibumi
ini.[7]
Aristoteles mengatakan bahwa kerusakan moral adalah wujud
pengabaian terhadap fungsinya, akibat sebuah penolakan terhadap esensi dan
tujuan akhir kita. Karena menurutnya, individu yang baik adalah yang mampu
melaksanakan fungsinya dengan baik, lebih dari sekedar sebilah pisau tajam yang
dapat digunakan untuk memotong dengan baik. Kita memiliki apa yang tidak
dimiliki makhluk lain yaitu kemampuan berfikir kita. Tujuan akhir terarah pada Eudaimonia
atau kebahagiaan (ideal). Inti dari pemikiran Aristoteles tersebut yaitu tujuan
manusia adalah menjadi baik sebagaimana manusia.[8]
B.
Pandangan
Filsafat Tentang Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan berasal dari kata ilmu dan pengetahuan. Dalam
pandangan James K. Feiblenan, pengetahuan adalah hubungan antara obyek dan
subyek. Dengan kata lain, pengetahuan adalah paham suatu subyek mengenahi obyek
yang dihadapi.
Ilmu dalam pandangan para ahli mempunyai pengertian sebagai
berikut:
1.
Ralph
ross dan firnest van den haag dalam bukunya “the fehric of society”, ilmu
adalah sesuatu yang empiris, rasional, umum, dan kumulatif, dan
keempat-empatnya serempak.
2.
Asley
Montagu dalam bukunya “the cultured man” menyebutkan bahwa ilmu adalah
pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang yang berasal dari pengamatan,
studi dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang sesuatu yang
sedang di pelajari.
3.
Zakiah
Darajat, dkk. Ilmu adalah seperangkat rumusan pengembangan pengetahuan yang
dilaksanakan secara obyektif, sistematis, baik dengan pendekatan deduktif,
maupun induktif, yang dimanfaatkan untuk memperoleh keselamatan, kebahagiaan,
dan pengalaman manusia yang berasal dari tuhan, dan di simpulkan oleh manusia
melalui hasil penemuan pemikiran dari para ahli.
Dari
beberapa definisi diatas, ilmu pengetahuan mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu:
1.
Obyek
ilmu pengetahuan adalah empiris, yaitu fakta-fakta empiris yang dapat dialami
langsung oleh manusia dengan mempergunakan panca indranya.
2.
Ilmu
pengetahuan mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu mempunyai sistematika,
hasil yang diperoleh bersifat rasional dan obyektif, universal, kumulatif.
3.
Ilmu
dihasilkan dari pengamatan, pengalaman, studi, dan pemikiran, baik melalui
pendekatan deduktif, maupun pendekatan induktif maupun kedua-duanya.
4.
Sumber
dari segala ilmu adalah Tuhan, karena Dia yang menciptakannya.
5.
Fungsi
ilmu adalah untuk keselamatan, kebahagiaan, pengamana manusia dari segala
sesuatu yang menyulitkan.
Salah satu masalah teori pengetahuan yang tertua adalah tentang
sumber pengetahuan. Masing-masing kita memiliki khasanah pengetahuan tertentu.
Misalnya tentang alam sekitar, kehidupan yang kita alami, prinsip-prinsip
matematika, tentang baik buruk dan sebagainya. Benar dan berlakunya bergantung
pada sumber perolehannya. Apabila sumber pengetahuan itu benar, maka benar pula
pengetahuan yang dipancarkan. Wahyu sebagai sumber asli pengetahuan memeberikan
inspirasi yang sangat besar terhadap dasar pondasi pengetahuan bila mampu
mentransformasikan berbagai bentuk ajaran normatif-doktriner menjadi
teori-teori yang bisa diandalkan. Di sanpig itu, wahyu memberikan bantuan
intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan rasional dan empiris sehingga
pengetahuan yang berdasarkan wahyu memiliki khasanah intelektual yang lebih
lengkap daripada sains. Wahyu bisa dijadikan sumber pengetahuan, baik pada saat
seseorang memenuhi jalan buntuketika melakukan perenungan secara radikal maupun
dalam kondisi biasa.
Di
dalam sejarah filsafat lazim dikatakan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
salah satu dari empat jalan sebagai berikut:
1.
Pengetahuan
diperoleh dari budi.
2.
Pengetahuan
kita diperoleh dari bawaan lahir.
3.
Pengetahuan
diperoleh dari indera-indera khusus, yaitu penglihatan, pendengaran, ciuman dan
rabaan.
4.
Pengetahuan
berasal dari pengahayatan langsung atau ilham.
Bentuk pengetahuan yang sangat sederhana adalah sekedar kesadaran,
seperti apa yang berlangsung pada suatu organisme ketika ia langsung atau
dipengaruhi oleh suatu obyek. Sikap awal yang tepat bagi filosof pengetahuan
adalah kerendahan hati dalam menghadapi pengalaman.
Dari beberapa refleksi di atas sesungguhnya kita bisa membedakan
pengetahuan manusia menjadi tiga jenis pengetahuan yaitu pengetahuan ilmiah,
pengetahuan moral dan jenis pengetahuan religius.
1.
Pengetahuan
ilmiah
Pengetahuan
ilmiah adalah jenis pengetahuan yang diperoleh dan dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah atau dengan menerapkan cara kerja atau metode
ilmiah. Sedangkan yang dimaksud metode ilmiah adalah prosedur atu
langkah-langkah sistematis yang perlu diambil guna memperoleh pengetahuan yang
didasarkan atas persepsi indrawi dan melibatkan uji coba hipotesis serta teori
secara terkendali.
2.
Pengetahuan
moral
Kalau
adanya pengetahuan ilmiah sering tidak begitu diperdebatkan, lain ahlnya dengan
adanya pengetahuan moral. Cukup banyak orang menganggap bahwa dalam hal moral
tidak ada kebenaran yang bersifat obyektif dan universal. Penilaian dan putusan
moral adalah soal perasaan pribadi atau paling-paling produk budaya teempat
orang lahir dan dibesarkan. Dalam hal moral, tidak ada klaim kbenaran yang
absah.
3.
Pengetahuan
religius
Persoalan
tentang kemungkinan adanya pengetahuan religius sedikit berbeda dari persoalan
tentag kemungkinan adanya pengetahuan moral. Kendati begitu, beberapa konsep
dan prinsip yang berlaku dalam membahas kemungkinan adanya pengetahuan moral
dapat dipakai untuk memberi titik terang pada persoalan tentang pengetahuan
religius. Duduk persoalannya adalah apakah pengetahuan religius itu mungkin.
Persoalan ini muncul berkaitan dengan klaim bahwa pengetahuan religius,
termasuk di dalamnya adalah pengetahuan tentang Tuhan, sesungguhnya berada
diruang lingkup pengetahuan manusia. Pernyataan bahwa tuhan itu ada dan
memiliki sifat-sifat tertentu seperti maha kuasa, maha penyayang dan
sebagainya, merupakan pokok iman dan bukan materi pengetahuan manusia. Benar
salahnya pernyataan tersebut tidak dapat ditentukan, baik secara apriori maupun
secara aposteriori berdasarkan pengalaman. Dengan kata lain, baik tolak ukur
kebenaran rasio maupun kebenaran faktual atau empiris tidak berlaku untuk
pernyataan-pernyataan religius.
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam mendapatkan pengetahuan adalah:
1.
Batasan
kajian imu. Secara ontologis, ilmu membatasi pada pengkajian obyek yang berada
dalam lingkup manusia. Ilmu tidak dapat mengkaji daerah yang bersifat
transedental.
2.
Cara
menyusun pengetahuan. Untuk mendapatkan pengetahuan menjadi ilmu diperlukan
cara untuk menyusunnya yaitu dengan cara menggunakan metode ilmiah.
3.
Diperlukan
landasan yang sesuai dengan ontologis dan aksiologis ilmu itu sendiri.
4.
Penjelasan
diarahkan pada deskripsi mengenahi hubungan barbagai faktor yang terikat dalam
suatu konstelasi penyebab timbulnya suatu gejala dan proses terjadinya.
5.
Metode
ilmiah harus bersifat sistematik dan eksplisit.
6.
Metode
ilmiah tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak tergolong pada
kelompok ilmu tersebut.
7.
Ilmu
mencoba mencari penjelasan mengenahi alam dan menjadikan kesimpulan yang
bersifat umum dan impersonal.
8.
Karakteristik
yang menonjol kerangka pemikiran teoritis:
a.
Ilmu
eksakta : deduktif, rasio, kuantitatif
b.
Ilmu
sosial : induktif, empiris, kualitatif[9]
Dalam konteks
lain, dalam kehidupan ini, sumber pengetahuan itu sesungguhnya beragam dan
berbeda sebagaimana beragamnya aliran pemikiran manusia. Selain pengetahuan itu
mempunyai sumber, juga seseorang ketika hendak mengadakan kontak dengan
sumber-sumber itu, maka dia menggunakan alat. Para filosof islam menyebutkan
beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan, yaitu:
1.
Alam
tabi’at atau alam fisik
Manusia sebagi wujud yang materi,
maka selama di alam materi, ia tidak akan lepas dari hubungannya dengan materi
secara interaktif, dan hubungannya dengan materi menuntutnya untuk menggunakan
alat dan sifatnya materi pula, yakni indra, karena sesuatu yang materi tidak
bisa dirubah menjadi yang tidak materi. Dalam filsafat Aristoteles klasik,
pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang aksiomatik. Meski
indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun indra hanya
sebagai syarat yang lazim, bukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya
memotret relita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk
menggeneralisasikannya dibutuhkan akal.
2.
Alam
akal
Bagi kaum rasionalis, selain alam
tabi’at atau alam fisika, menyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan
yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap
akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan, sedangkan indra hanya
pembantu saja.
3.
Analogi
(tamtsil)
Termsuk alat pengetahuan manusia
adalah analogi yang dalam terminologi disebut qiyas. Analogi ialah menetapkan
hukum atas sesuatu dengan hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena
adanya kesamaan antara dua sesuatu itu.
4.
Hati
dan ilham
Kaum empiris yang memandang bahwa ada
sama dengan materi, sehingga sesuatu yang inmateri adalah tidak ada, maka
pengetahuan tentang inmateri tidak mungkin ada. Sebaliknya, kaum llahi yang
menyakini bahwa ada lebih luas dari sekedar materi. Mereka menyakini keberadaan
hal-hal yang inmateri. Pengetahuan tentangnya tidak mungkin lewat indera tetapi
lewat akal atau hati.[10]
IV.
SIMPULAN
manusia itu sebenarnya mempunyai beberapa predikat yang
masing-masing hakikat itu sendiri tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi sebuah
bagian yang berdiri sendiri. yaitu:
1.
Manusia
itu mempunyai hakikat sebagai makhluk dwi tunggal. Yaitu terdiri dari dua unsur
yaitu unsur rohaniah dan jasmaniah.
2.
Manusia
itu memiliki dua sifat hakiki yaitu sebagai makhluk individual dan sebagai
makhluk sosial.
3.
Manusia
mempunyai hakikat sebagai makhluk susila atau makhluk ber-Tuhan. Manusia
memiliki sifat atau dikaruniai kemampuan untuk dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang tidak baik menurut ukuran kesusilaan.
Aliran
filsafat materialisme, naturalisme dan eksistensialisme, juga mazdhab-mazdhab
pemikiran historisme, sosiologis, dan biologisme, ajaran-ajarannya pada
akhirnya membakukan pendapatnya bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berdaya
dan tidak mampu keluar dari lingkungan eksternalnya.
ilmu
pengetahuan mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu:
1.
Obyek
ilmu pengetahuan adalah empiris,
2.
Ilmu
pengetahuan mempunyai karakteristik tersendiri,
3.
Ilmu
dihasilkan dari pengamatan, pengalaman, studi, dan pemikiran, baik melalui
pendekatan deduktif, maupun pendekatan induktif maupun kedua-duanya.
4.
Sumber
dari segala ilmu adalah Tuhan, karena Dia yang menciptakannya.
5.
Fungsi
ilmu adalah untuk keselamatan, kebahagiaan, pengamana manusia dari segala
sesuatu yang menyulitkan.
pengetahuan
manusia dapat dibedakan menjadi tiga jenis pengetahuan yaitu pengetahuan
ilmiah, pengetahuan moral dan jenis pengetahuan religius.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah ini kami buat dan disampaikan, kami sadarv bahwa makalah inimasih jauh
dari kesempurnaan. Maka kami menerima kritik dan saran yang membangun guna perbaikan
pada selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar