Rabu, 10 Januari 2018

Epistemologi Integratif Arah Pengembangan Keilmuan pada Sekolah Dasar

       I.            PENDAHULUAN
Jika kita melihat kembali sejarah kelahiran Islam, maka realitas sosial utama dan pertama yang dihadapi adalah krisis moral yang melanda kehidupan umat ketika itu. Adanya ketimpangan struktur sosial ekonomi dan polotik yang eksploitatif membuat yang kaya memperbudak dan memperdagangkan yang miskin. Ukuran dan kebenaran dan keadilan ditentukan oleh yang kaya, yang kuat dan yang berkuasa. Disamping itu, fanatisme kesukuan yang sempit sering kali diperalat untuk mengukuhkan suatu kekuasaan, sehingga permusushan, peperangan dan pertumpahan darah tidak bisa dihindarkan lagi. Ini dilakukan demi memperebutkan kekuasaan atas wilayah-wilayah perdaganyan, perjudian, dan hiburan.
Pada masa sekarang ini, kondisi masyarakat Islam khususnya di Indonesia semakin terlihat jelas mengarah pada kondisi seperti diatas. Perilaku dan moralitas generasi muda kita semakin memperihatinkan, juga tidak lepas juga dari pengaruh dewasa masyarakat kita yang banyak sekali memberikan banyak sekali contoh-contoh perilaku yang tidak sesuai. Orang lebih banyak memikirkan bagaimana agar dirinya sukses di dunia dengan mengabaikan konsep-konsep moral yang berlaku di masyarakat. Sehingga generasi muda tanpa disadari ikut mengarah pada pemikiran-pemikiran tersebut.
Usaha untuk keluar dari krisis dekadensi harus segera ditemukan. Berbagai gagasan dalam memperbaiki generasi bangsa untuk masa depan mulai banyak di dengungkan namun belum ada yang terlihat jelas hasilnya. Jika tidak segera ditemukan, maka krisis multidimensi ini akan mengancam eksistensi bangsa pada umumnya dan eksistensi umat Islam pada khususnya. Dalam krisis yang demikian ini Nabi pernah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain selain meluruskan moral yang bengkok itu dari dasarnya.[1] Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mempengaruhi perilaku, sehingga perlu juga untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu murni yang diajarkan disekolah-sekolah dasar dengan keilmuan agama  yang sesuai.
    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Darimanakah ilmu itu ditemukan?
B.     Apa sajakah metode dalam mengembangkan ilmu?
C.     Bagaimana implikasi integrasi pengetahuan pada pendidikan dasar?
D.    Bagaimana mengembangkan guru dalam upaya integrasi pengetahuan?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Sumber Ilmu
Eksistensi manusia sangat dibatasi oleh runag, waktu, dan syarat-syarat lain yang dibawa oleh kodratnya. Akan tetapi dengan cara-cara tertentu manusia dapat melampaui batas ruang, waktu, dan syarat-syarat yang lain. Manusia mulai mendengarkan berita-berita, mengumpulkan informasi-informasi, dan memeriksa data-data yang telah terkumpul dari pepristiwa-peristiwa yang tidak ia alami sendiri. Demikian juga segala sesuatu yang dapat ia alami sendiri ia himpun dan ia renungkan, ia oleh sehingga menajdi pengetahuan yang makin tepat dan makin mantap.
Persoalan yang muncul tentang bagaimana proses terbentuknya pengetahuan oleh umat manusia dapat siperoleh melalui pendektan a priori maupun aposteriori. Pengetahuan yang ddiperoleh melalui pendektan apriori adalah pengetahuan yang diperolah tanpa melalui proses pengalaman, baik pengalaman yang bersumber dari pancaindera maupun pengalaman batin atau jiwa. Sebaliknya, pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan aposteriori adalah pengetahuan yang diperoleh dari informasi yang didapatkan dari orang lain atau pengalaman yang sudah ada sebelumnya.[2]
Setiap jenis ilmu pengetahuan mempunyai cirri-ciri yang spesifik mengenahi apa, bagaimana, dan untuk apa pengetahuan tersebut disusun. Dalam buku yang ditulis oleh Mohammad Adib, dijelaskan enam sumber-sumber pengetahuan, yakni: pengalaman, indera, nalar, otoritas, intuisi, wahyu, dan keyakinan.[3]
Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar pada dasarnya ada dua sumber utama yang perlu diketahui oleh manusia, yaitu berdasarkan rasio dan pengalaman manusia. Pengetahuan yang diperoleh dari sumber rasio, kebenarannya hanya didasarkan pada kebenaran akal pikiran semata, pendapat ini dikembangkan oleh para kaum rasionalis, sedangkan orang yang menganut faham ini disebut kaum rasionalisme. Sebaliknya, orang yang berpendapat bahwa sumber ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman, kebenaran pengetahuan hanya di dasarkan pada fakta-fakta yang ada dilapangan, sedangkan orang yang menganut faham ini disebut sebagai kaum empirisme.
Kaum rasionalis, untuk memeroleh pengetahuan yang benar dilakukan dengan menggunakan penalaran, sedangkan logika yang digunakan adalah logika deduktif. Premis-premis yang digunakan dalam proses penalaran diperoleh melalui ide-ide yang menurut anggapan dasarnya jelas dan dapat diterima. Prinsip semacam ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya, sehingga orang yang menggunakan logika deduktif dalam setiap pemecahan masalah yang dihadapi dikenal dengan nama idealisme.[4]
Kaum empiris, mempunyai pendapat yang berbeda dengan kaum rasionalis terkait dengan sumber pengetahuan. Seorang penganut empirisme biasanya berpendirian bahwa kita dapat memeroleh pengetahuan melalui pengalaman.[5] Kaum empiris beranggapan bahwa gejala-gejala alamiah yang terjadi dimuka bumi ini adalah bersifat konkrit dan dapat dinyatakan melalui tangkapan panca indera manusia. Gejala-gejala ini bila kita kaji lebih jauh, ternyata memiliki beberapa karakteristik tertentu, misalnya gejala alam yang muncul ternyata memiliki pola yang teratur mengenahi suatu kejadian tertentu. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi di alam semesta ini. Artinya dengan menggunakan penalaran induktif mka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum melalui pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual.
Sumber pengetahuan selain dapat diperoleh melalui rasionalisme dan empirisme, ternyata masih ada cara lain yang perlu kita ketahui yaitu intuisis dan wahyu. Intuisi adalah kegiatan berfikir untuk mendapatkan pengetahuan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Intuisi bisa bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan yang ditemukan tidak pada saat seseorang itu sadar sedang memikirkan mencari pemecsahan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Suatu masalah yang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu tiba-tiba saja muncul dibenak kita suatu jawaban yang lengkap.
Intuisis merupakan kegitan berfikir yang bersifat personal dan tidak bisa diramalkan sebagai dasar penyusunan pengetahuan secara teratur maka intuisis tidak dapat diandalkan. Intuisis merupakan pengalaman puncak bagi manusia dalam mencari kebenaran. Dan intuisi merupakan intelegensi yang paling tinggi bagi diri manusia dalam mencari kebenaran.[6]
B.     Metode dalam Mengembangkan Ilmu
1.      Metode Epistemologi Barat
Banyak identifikasi tentang pendekatan epistemology barat yang telah melakukan imperialism epistemology diseluruh dunia, terutama di dunia Islam. Menurut Kazuo Shimogaki, kecenderungan epistemologi barat modern menjadi lima macam yaitu: pemisahan antara bidang sacral dan bidang duniawi, kecenderungan kea rah reduksionisme, pemisahan antara subyektifitas dan objektifitas, antroposentrisme, dan progresifisme.
Agaknya perlu disebutkan juga bahwa pendekatan epistemology barat itu adalah sebagai berikut:[7]
a.       Pendekatan skeptis
Cirri skeptis atau keragu-raguan (kesangsian) tampaknya menjadi warna dasar bagi epistemology barat. Skeptisisme ini pertamakali di dunia barat di perkenalkan oleh Rene Descartes. Baginya, filsafat dan ilmu pengetahuan dapt diperbaruhi melalui metode dengan menyangsikan segala-galanya. Dalam bidang ilmiah tidak ada suatu apapun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan dn pada kenyataannya memang dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan kecuali ilmu pasti.
Pikiran-pikiran Descartes, terutama tentang metode skeptis itu sangat memengaruhi filsafat modern, termasuk juga aspek epistemologinya. Disamping itu, juga memngaruhi ilmu pasti, ilmu pesawat, ilmu alam dan ilmu kedokteran. Paradigma berfikir skeptis ini sampai sekarang selalu dijadikan pedoman dalam memperbaruhi dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Para ilmuan senantiasa menyangsikan segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan hingga mendapatkan kemantapan. Diaklangan ilmuan barat, keraguan menjadi salah satu cirri epistemologinya. Mereka berangkat dari keraguan ketika menghadapi suatu persoalan pengetahuan yang belum terpecahkan secara menyakinkan. Tradisi epistemology akhirnya memengaruhi ilmuan lainnya. Akhirnya sikap skeptis merupakan karakteristik seorang ilmuan, artinya dia tidak pernah menerima kebenaran suatu pernyataan sebelum penjelasan mengenahi isi pernyataan itu dapat dia terima dan konsekuensi kebenaran pernyataan tersebut dapat disaksikannya secara empirik.[8]
b.      Pendekatan rasional empiris
Dalam epistemology barat, metode rasional memiliki tempat yang istimewa, terutama pada saat mengukur keabsahan kebenaran ilmu pengetahuan. Betapapun bagusnya temuan ilmu pengetahuan, bila tidak rasional kebenarannya maka temuan terseebut tidak akan diakui sebagai kebenaran ilmiah.
Jadi rasio telah memainkan peran signifikan terhadap bangunan epistemology berikut hasil-hasilnya. Bahkan epistemology yang berkembang sekarang ini terlalu mengandalkan kekuatan rasio, tanpa sedikitpun member peluang kepada kemungkinan-kemngkinan trasnsenden untuk memengaruhi perilaku seseorang.[9] Rasio menjadi sandaran utama dalam membangun ilmu pengetahuan bail ilmu alam, ilmu sosial, maupun humaniora. Sehingga rasio menjadi penentu keabsahan ilmu pengetahuan.
c.       Pendekatan dikotomik
Dikotomi adalah pembagian atas dua konsep yang saling bertentangan. Dikotomi ini muncul bersamaan dengan setidaknya beriringan dengan masa renaissance di Barat. Sebelumnya kondisi sosio religious maupun sosio intelektual di Barat dikendalikan oleh gereja. Semua temuan ilmiah bisa dianggap sah dan benar bila sesuai dengan doktrin-doktrin gereja. Masa renaissance  ini melahirkan sekularisasi (pemisahan urusan dunia dan akhirat) dan dari sekularisasi ini lahirlah dikotomi pengetahuan.
Epistemology barat yang senantiasa bersifat dikotomis tersebut bagi ilmuan barat adalah cara terbaik untuk memeroleh kebenaran pengeahuan. Namun, bagi dunia Islam bisa mengandung bahaya. Berdasarkan kenyataan ini, maka muncul gagasan Islam Untuk Disiplin Ilmu (IUDI), supaya ilmu pengetahuan tidak berkembang secara liar. Oleh karena berbagai masalah, pembagian pengetahuan yang bersifat dikotomis itu tentu tidak diterima oleh Islam, karena berlawanan dengan kandungan ajaran Islam sendiri.
d.      Pendekatan positif-obyektif
Kata positif sama artinya dengan faktual (apa yang berdasarkan fakta-fakta). Pengetahuan kita tidak boleh melampaui fakta-fakta, maka pengetahuan empiris dijadikan pedoman istimewa dalam bidang pengetahuan. Ilmu-ilmu positif dalam menerangkan suatu hal tidak merujuk kepada hal-hal yang buka fenomena dan yang mengatasi bidang inderawi. Dengan kata lain, ilmu positif tidak mepergunakan keterangan yang sifatnya metafisis.
Pendekatan yang dekat dengan pendekatan positif adalah pendekatan objektif. Pendekatan obyektif adalah pendekatan yang memandang pengetahuan manusia sebagai suatu sistem pernyataan atau teori yang dihadapkan pada diskusi kritis, ujian intersubjektif atau kritik timbale balik. Pendekatan objektif ini berusaha membersihkan pengetahuan dari subjektifitas orang yang mengembangkannya lantaran faktor agama, biografi intelektual, ideology, adat, maupun kepentingan golongan tertentu.


e.       Pendekatan yang menentang dimensi spiritual (anti metafisika)
Para filosof barat modern mulai dari Rene Descsartes hingga para ilmuan belakangan ini hamper semuanya menolak keterlibatan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Bagi mereka, jika saja eksistensi wahyu Tuhan diakui itu hanya dalam kapasitasnya member petunjuk kepada manusia dalam memantapkan keimanan, menjalankan ibadah, melaksanakan upacara-upacara ritual, dan meningkatkan moral. Jelasnya, wahyu memiliki peranan sendiri dalam kehidupan manusia, yaitu memberikan seperangkat aturan yang harus dijalani manusia sebagai bekal untuk menuju kehidupan akhirat. Diluar itu semua termasuk persoalan ilmu pengetahuan tidak termasuk bahasan wahyu.
2.      Metode Epistemologi Islam
Sedangkan dalam kronologi struktur metodologi Islam, yaitu berangkat dari filsafat Islam yang mencakup  epistemology Islam yang kemudian epistemology Islam melahirkan metodologi Islam. Berpijak dari perbedaan antara filsafat Islam dan filsafat Barat, akhirnya melahirkan epistemology dan selanjutnya metodologi yang berbeda. Namun ketika berpijak pada kesamaan keduanya, maka terdapat titik pertemuan.dari perbedaan keduanya diperoleh kenyataan bahwa filsafat Islam disamping berdasarkan akal jugaa berdasarkan wahyu, dan wahyu ini mewarnai epistemology Islam, sehingga ia mencakup dimensi spiritual, seperti intuisi. Selanjutnya epistemology yang berdasarkan nilai-nilai transcendental ini melahirkan metodologi yang juga dipengaruhi nilai-nilai transcendental yang kemudian disebut metodologi Islam.[10]
Mengingat filsafat Islam berdasarkan wahyu, maka epistemology dan metodologi Islam juga di dasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Mohammad Anwar menegaskan bahwa Qur’an Hadis adalah sumber fundamental metodologi Islam. Pengetahuan Qur’an dan Hadis adalah pangkal (inti, dasar, permulaan) metodologi Islam. Pangkal itu merupakan pusat pertumbuhan pengetahuan. Panmgkal itu memuat beberapa pengetahuan yang relevan dengan setiap disiplin. Penggunaan metodologi Islam akan membawa konsekuensi lebih lanjut, pengetahuan yang di capai dari metodologi ini merupakan pengetahuan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Sebaliknya, pengetahuan yang dihasilkan dari metodologi barat tidak bisa diakui sebagai pengetahuan yang Islami.
Dengan demikian, metodologi Islam tidak bebas nilai. Metode Islam tetap akan dipengaruhi wahyu kendati juga dipengaruhi akal. Sesungguhnya dalam memeroleh pengetahuan dengan sengaja berpegang pada wahyu dan akal bersama-sama, dan menolak sikap ekstrim. Meskipun metode islami sarat-sarat dengan nilai-nilai yang berasal dari wahyu Allah, tetapi masih mempertimbangan keseimbangan, sehingga akal diberikan peran yang besar dalam memeroleh pengetahuan. Pemahaman yang benar tidak menjadikan wahyu dan akal berbenturan, tetapi justru menjadikan wahyu memberikan bantuan atau menyempurnakan akal.[11]
Metode epistemology pendidikan Islam adalah metode-metode yang digunakan dalam memeroleh pengetahuan tentang Islam. Dari perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, Hadist Nabi, sementara didapatkan lima macam metode untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu:
a.       Metode rasional
Metode ini dipakai untuk mencapai pengetahuan tentang pendidikan Islam, terutama yang bersifat apriori. Pencapaian jenis ini merupakan hasil dari perenungan-perenungan akal. Penggunaan akal untuk mencapai pengetahuan termasuk pengetahuan pendidikan Islam mendapat pembenaran agama Islam. Sebagaimana kita ketahui, bahwa al_qur’an merupakan wahyu Allah yang diperuntukan untuk petunjuk bagi manusia yang bertaqwa. Akan tetapi al-Qur’an tidak bisa dipahami oleh orang bodoh atau sembarang orang. Al-Qur’an baru dapat dipahami jika seseorang disamping berbekal ilmu-ilmu bantu, juga mendayagunakan akalnya. Dengan kata lain, al-Qur’an menuntut agar dipahami dengan akal sehat.
b.      Metode intuitif
Dalam tindakan metode, metode intuitif ini sering disebut sebagai metode apriori. Dalam pembahasan filsafat, apriori umumnya dimaksudkan sebagai adanya pengetahuan yang diperoleh sebelum di dahului oleh pengalaman. Jika metode intuitif itu sering disebut sebagai metode apriori itu karena pengetahuan yagn diperoleh menggunakan pendekatan intuitif itu adalah pengetahuan yang tiba-tiba secara teranugerahkan dan tidak melalui pengalaman sama sekali. Dalam pendidikan Islam, pengetahuan intuitif tersebut senantiasa ditempatkan pada posisi yang layak. Intuisi ada dalam diri manusia dan sekaligus merupakan potensi manusia untuk memeroleh pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan Islam, bukan hanya menggunakan indera da akal dalam merumuskan suatu konsep, tapi yang tak kalah strategisnya adalah adalah mmenggunakan intuisi dan wahyu. Memeberikan sumbangan yang signifikan terhadap bangunana ilmu pengetahuan Islam, karena intuisi dijadikan sebagai metode dalam memperoleh pengetahuan.

c.       Metode dialogis
Metode dialogis yang dimaksud adalah upaya menggali pengetahuan pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan (Tanya-jawab) antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Metode dialogis ini memiliki sandaran teologis yang jelas. Upaya untuk mencari jawaban-jawaban adalah aktifitas yang sah menurut Islam maupun ilmu pengetahuan. Dialog ilmiah tersebut pberperan dalam memperkaya peradaban, kebudayaan, atau lebih spesifik lagi ilmu pengetahuan. Dialog dapat melahirkan pemahaman yang jernih, wawasan yang luas dan komprehensif, serta pengetahuan yang baru sama sekali.[12]
d.      Metode komparatif
Metode komparatif adalah metode memeroleh pengetahuan dengan cara membandingkan teori maupun praktik pendidikan, baik sesame pendidikan Islam maupun pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya. Metode komparatif sebagai metode epistemology pendidikan Islam tidak hanya bertujuan yang sifatnya perluasan pengetahuan, tetapi yang lebih penting justru pembentukan dan penyusunan pengetahuan yang baru sama sekali.
e.       Metode kritik
Kritik ini penting sekali dalam menguji validitas pengetahuan. Sejarah filsafat sendiri banyak diwarnai oleh kritik. Kritik tidak hanya terdapat pada filsafat Islam, tetapi juga pada ilmu Kalam, Fiqih, Sejarah Islam maupun Hadist. Bahkan dalam penelitian hadist ditemukan banyak ulama kritikus Hadist. Namun belakangan ini, tradisi kritik itu mengalami kemandegan dikalangan muslim, sehingga peradaban Islam mengalami kemandegan. Pemikir muslim dewasa ini jarang sekali yang berpijak dari metode kritik ketika mengungkapkan gagasan-gagasannya. Kritik terlahir dari proses berfikir secara cermat, jernih dan mendalam sehingga ditemukan celah-celah kelemahan dari konsep-konsep, teori-teori, maupun pemikiran-pemikiran yang dikritik.
C.    Implikasi Integrasi Pengetahuan Pada Pendidikan Dasar
Kompleksitas persoalan yang ada dalam kehidupan manusia dewasa ini membuat kepercayaan kepada ilmu dan teknologi sebagai satu-satunya yang mampu menyelesaikan persoalan manusia secara lebih memuaskan dan mendasar, mulai memudar. Bahkan masyarakat mulai menganggap iptek telah gagal menciptakan kedamaian dan kebahagiaan manusia. Dari itu diperlukan sebuah sistem ilmu pengetahuan yang tidak terpecah-pecah dan tidak berdiri sendiri, akan tetapi bekerjasama secara harmonis.[13]
Integrasi keilmuan antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu pengetahauan agama Islam masih terlalu banyak pada tataran teoretis dan baru dilaksanakan pada tingkat perguruan tinggi. Antara lain dengan menyatukan lokasi pendidikan dan program kerjasama penelitian yang malibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu dan juga program kuliah lintas disiplin.
Demikian strategisnya konsep integrasi keilmuan maka sebagai tujuan mencerdaskan bangsa, maka eksistensi pendidikan dasar adalah ekuivalen dengan keinginan banyak pihak untuk secara sadar, sistematis, terarah dan terpadu berikhtiyar mengarahkan peserta didik menjadi manusia bermoral dan berperadaban. Hal demikian tentulah bukanlah hal yang berlebihan, karena pada pendidikan tingkat dasar dipandang sebagai waktu paling tepat untuk mendidik karakter manusia.[14]
Pada wilayah sekolah dasar, anak-anak yang lebih banyak diajarkan pengetahuan umum disbanding pengetahuan agama yang kemudian menjadi kebanggaan anak terhadap penegetahuan agama menjadi berkurang. Mata pelajaran umum masih menjadi tujuan utama dalam penguasaan keilmuan ketika belajar di sekolah. Kiranya konsep integrasi keilmuan umum dan juga keilmuan agama dapat dilaksanakan dilingkungan sekolah dasar juga. Sehingga anak memahami sejak awal bahwa tidak ada pemisahan antara keilmuan umum dan keilmuan agama yang mereka pelajari.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam mengintegrasikan keilmuan pada tingkat dasar diantaranya sebagai berikut:
1.      Terhadap arah kebijakan pendidikan dasar. Dalam aplikasinya pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan nasional. Sehingga dalam upaya mengintegrasikan keilmuan tidak dapat dilakukan secara sepihak, tapi harus mulai dari kebijakan pendidikan pada tingkat nasional.
2.      Terhadap isi kurikulum pendidikan dasar. Berbagai kebijaksanaan pemerintah yang tertuang dalam landasan yuridis formal perundang-undangan pendidikan telah memposisikan pendidikan agama Islam sebagai muatan kurikulum wajib.
3.      Terhadap konsep dasar pendidikan agama pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan agama bukanlah ranah yang tersendiri yang bebas menentukan haluan perjalanannya. Idealisasi pendidikan agama yang berkeseimbangan bukanlah sekedar normatif. Realita kehidupan anak menunjukan semakin banyaknya pengalaman agama yang di dapatnya melalui pembiasaan, akan semakin banyaklah unsur agama dalam pribadinya dan semakin mudah dalam memahami ajaran agama pada tingkatan selanjutnya. Jadi agama itu mulai dengan amaliah, kemudian ilmiah atau penjelasan sesuai dengan pertumbuhan jiwanya.
Sistem pengetahuan yang demikian itu, dikembangkan dan lembagakan melalui pendidikan. Sebagaimana yang terjadi pada masa kejayaan Islam, pendidikan dapat menghasilkan kreatifitas dalam segala bidang ilmu pengetahuan.
Manurut Fazlur Rahman, upaya mengembalikan kejayaan umat Islam dalam berbagai bidang adalah dengan menumbuhkan sifat kritis dan kreatif. Pada awalnya sikap kritis dan kreatif yang diperlukan adalah yang memungkinkan peserta didik berani dan memiliki rasa percaya diri untuk memahami wahyu secara langsung. Mereka tidak lagi menganggap bahwa hasil pemahaman ulama terhadap wahyu merupakan hasil yang sudah final, yang pasti mujarab untuk mendiagnosis permasalahan-permasalahan sekarang dan yang akan datang.[15] Jadi upaya dalam mengintegrasikan pengetahuan umum dengan pengetahuan agama yang tujuan utamanya adalah utnuk memajukan kembali umat Islam pada zaman modern ini, dalam tingkatan dasar adalah dengan menciptakan jiwa islami yang kritis dan kreatif.
D.    Mengembangkan Guru dalam Upaya Integrasi Pengetahuan
Dalam upaya pengembangan integrasi ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama dilingkungan sekolah dasar, guru memiliki peran yang sangat penting. Kemampuan guru dalam mengembangkan pembelajaran yang mengintegrasikan keilmuan umum dan agama akan sangat menentukan keberhasilan upaya tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri kemampuan pengajar-pengajar masih belum mampu mengintegrasikan pengetahuan umum dengan pengetahuan agama. Guru masih hanya menguasai satu bidang tertentu saja.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan kualitas guru sehingga dapat mengintegrasikan pengetahuan umum dan agama, langkah-langkah pemberdayaan guru berdasarkan hasil analisis atas kondisi guru di Indonesia diantaranya:[16]
1.      Peningkatan kesejahteraan guru
Peningkatan kesejahteraan dapat berupa kesejahteraan ekstrinsik dan intrinsik. Kesejahteraan ekstrinsik terkait dengan gaji yang layak yang minimal dapat memenuhi kebutuhan fisik yang menurut Maslow sebagaimana dikutip oleh Robins meliputi: rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian, perumahan), seks, dan kebutuhan ragawi lainnya. Walaupun besarnya gaji diyakini sangat menentukan tingkat kesejahteraan namun bukanlah satu-satunya. Seandainya kemampuan lembaga terbatas untuk memberi gaji yang memadai, lembaga dapat melakukan cara lain dalam rangka memenuhi kebutuhan guru lainnya sebagaimana dikemukakan Maslow. Kebutuhan itu meliputi: jaminan keamanan (fisik dan emosional), sosial (kasih saying, rasa memiliki, diterima baik, dan persahabatan), penghargaan (penghargaan internal seperti harga diri, otonomi dan prestasi, dan factor hormat eksternal seperti status, pengakuan dan perhatian), dan aktualisasi diri (dorongan untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi, mencakup pertumbuhhan, mencapai potensialnya, dan pemenuhan dirinya).  
2.      Pengembangan karir guru
Pengembangan karir antara lain dapat dilakukan dengan sistem promosi terbuka dan jujur sehingga membuka peluang untuk berkompetisi secara fairness diantara sesame guru. Berbagai jenis lomba dan penghargaan bagi guru berprestasi perlu dibudayakan. Jabatan-jabatan structural yang strategis dan puncak jabatan fungsional yang dapat dijabat oleh guru dikembangkan baik dengan memformalkan posisi yang telah ada sekarang maupun dengan mengembangkan posisi baru yang memang dibutuhkan sejalan dengan dinamika organisasi sekolah.
3.      Peningkatan kemampuan para guru
Peningkatan kemampuan professional guru dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti: pendidikan lanjutan dlam jabatan, inservice traing, pembentukan wadah-wadah peningkatan kualitas guru seperti penyeliaan, pemantapan kerja guru (PKG) dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP). Sekolah perlu mengakses informasi yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan guru majalah, jurnal, internet dan lain sebagainya.
4.      Mengatasi beban psikologis guru
Guru memiliki beban psikologis yang berat akibat tugas-tugas berat dan kompleks yang harus dilaksanakan, tanggungjawab yang dipikulkan, kemampuan yang terbatas dan gaji yang kecil. Atas dasar itu sekolah perlu mengembangkan pembinaan guru secara orang per-orang dan bersifat pendekatan pribadi untuk memenuhi kebutuhan masing-masing guru.
Jadi usaha dalam mengembangkan guru sangat erat kaitannya dengan seluruh unsure pendidikan. Tidak bisa mengembangkan kualitas guru hanya diserahkan kepada masing-masing guru. Segenap unsure yang terkait dalam pendidikan harus ikut serta mengembangkan dengan cara dan batas kekuasaannya masing-masing, sehingga tujuan dalam mengintegrasikan pengetahuan umum dengan pengetahuan agama dapat tercapai dengan maksimal.
 IV.            KESIMPULAN
Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar pada dasarnya ada dua sumber utama yang perlu diketahui oleh manusia, yaitu berdasarkan rasio dan pengalaman manusia. Pengetahuan yang diperoleh dari sumber rasio, kebenarannya hanya didasarkan pada kebenaran akal pikiran semata, pendapat ini dikembangkan oleh para kaum rasionalis, sedangkan orang yang menganut faham ini disebut kaum rasionalisme. Sebaliknya, orang yang berpendapat bahwa sumber ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman, kebenaran pengetahuan hanya di dasarkan pada fakta-fakta yang ada dilapangan, sedangkan orang yang menganut faham ini disebut sebagai kaum empirisme.
Sumber pengetahuan selain dapat diperoleh melalui rasionalisme dan empirisme, ternyata masih ada cara lain yang perlu kita ketahui yaitu intuisis dan wahyu. Intuisi adalah kegiatan berfikir untuk mendapatkan pengetahuan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Intuisi bisa bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan yang ditemukan tidak pada saat seseorang itu sadar sedang memikirkan mencari pemecsahan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Suatu masalah yang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu tiba-tiba saja muncul dibenak kita suatu jawaban yang lengkap.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan kualitas guru sehingga dapat mengintegrasikan pengetahuan umum dan agama, langkah-langkah pemberdayaan guru berdasarkan hasil analisis atas kondisi guru di Indonesia diantaranya:
1.      Peningkatan kesejahteraan guru. 
2.      Pengembangan karir guru.
3.      Peningkatan kemampuan para guru.
4.      Mengatasi beban psikologis guru.






DAFTAR PUSTAKA

A.M syaifuddin. 1991. Desekulerisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan.
Abdullah, Amin. dkk., 2003. Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama Dan Umum, Yogyakarta: Suka Press.
Adib, Mohammad. 2014. Filsafat Ilmu, Ontology, Epistemology, Aksiologi dan Logika Pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ghony, M. Junaidi dan Fauzan Almansur. 2012. Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, Malang: Uin Maliki Press.
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mas’ud,Abdurrachman. dkk., 2001. Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mujamil Qomar, Epistemology Pendidikan Islam, dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga.
Suriasumantri, Jujun S. Tentang Hakikat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi, Jakarta: Gramedia, 1989.
Sutrisno, Fazlur Rahman. 2006. Kajian Terhadap Metode, Epistemology, dan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tobroni. Pengembangan Profesionalisme Guru, artikel,diakses tanggal 03 Maret 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar