I.
PENDAHULUAN
Jika kita melihat kembali sejarah
kelahiran Islam, maka realitas sosial utama dan pertama yang dihadapi adalah
krisis moral yang melanda kehidupan umat ketika itu. Adanya ketimpangan
struktur sosial ekonomi dan polotik yang eksploitatif membuat yang kaya
memperbudak dan memperdagangkan yang miskin. Ukuran dan kebenaran dan keadilan
ditentukan oleh yang kaya, yang kuat dan yang berkuasa. Disamping itu,
fanatisme kesukuan yang sempit sering kali diperalat untuk mengukuhkan suatu
kekuasaan, sehingga permusushan, peperangan dan pertumpahan darah tidak bisa
dihindarkan lagi. Ini dilakukan demi memperebutkan kekuasaan atas
wilayah-wilayah perdaganyan, perjudian, dan hiburan.
Pada masa sekarang ini, kondisi
masyarakat Islam khususnya di Indonesia semakin terlihat jelas mengarah pada
kondisi seperti diatas. Perilaku dan moralitas generasi muda kita semakin
memperihatinkan, juga tidak lepas juga dari pengaruh dewasa masyarakat kita
yang banyak sekali memberikan banyak sekali contoh-contoh perilaku yang tidak
sesuai. Orang lebih banyak memikirkan bagaimana agar dirinya sukses di dunia
dengan mengabaikan konsep-konsep moral yang berlaku di masyarakat. Sehingga
generasi muda tanpa disadari ikut mengarah pada pemikiran-pemikiran tersebut.
Usaha untuk keluar dari krisis dekadensi
harus segera ditemukan. Berbagai gagasan dalam memperbaiki generasi bangsa
untuk masa depan mulai banyak di dengungkan namun belum ada yang terlihat jelas
hasilnya. Jika tidak segera ditemukan, maka krisis multidimensi ini akan
mengancam eksistensi bangsa pada umumnya dan eksistensi umat Islam pada
khususnya. Dalam krisis yang demikian ini Nabi pernah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain selain meluruskan moral
yang bengkok itu dari dasarnya.[1]
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mempengaruhi perilaku,
sehingga perlu juga untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu murni yang diajarkan
disekolah-sekolah dasar dengan keilmuan agama
yang sesuai.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Darimanakah ilmu itu ditemukan?
B. Apa sajakah metode dalam mengembangkan
ilmu?
C. Bagaimana implikasi integrasi
pengetahuan pada pendidikan dasar?
D. Bagaimana mengembangkan guru dalam upaya
integrasi pengetahuan?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sumber Ilmu
Eksistensi
manusia sangat dibatasi oleh runag, waktu, dan syarat-syarat lain yang dibawa
oleh kodratnya. Akan tetapi dengan cara-cara tertentu manusia dapat melampaui
batas ruang, waktu, dan syarat-syarat yang lain. Manusia mulai mendengarkan
berita-berita, mengumpulkan informasi-informasi, dan memeriksa data-data yang
telah terkumpul dari pepristiwa-peristiwa yang tidak ia alami sendiri. Demikian
juga segala sesuatu yang dapat ia alami sendiri ia himpun dan ia renungkan, ia
oleh sehingga menajdi pengetahuan yang makin tepat dan makin mantap.
Persoalan
yang muncul tentang bagaimana proses terbentuknya pengetahuan oleh umat manusia
dapat siperoleh melalui pendektan a
priori maupun aposteriori.
Pengetahuan yang ddiperoleh melalui pendektan apriori adalah pengetahuan yang
diperolah tanpa melalui proses pengalaman, baik pengalaman yang bersumber dari
pancaindera maupun pengalaman batin atau jiwa. Sebaliknya, pengetahuan yang
diperoleh melalui pendekatan aposteriori adalah pengetahuan yang diperoleh dari
informasi yang didapatkan dari orang lain atau pengalaman yang sudah ada
sebelumnya.[2]
Setiap
jenis ilmu pengetahuan mempunyai cirri-ciri yang spesifik mengenahi apa,
bagaimana, dan untuk apa pengetahuan tersebut disusun. Dalam buku yang ditulis
oleh Mohammad Adib, dijelaskan enam sumber-sumber pengetahuan, yakni:
pengalaman, indera, nalar, otoritas, intuisi, wahyu, dan keyakinan.[3]
Untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar pada dasarnya ada dua sumber utama yang
perlu diketahui oleh manusia, yaitu berdasarkan rasio dan pengalaman manusia.
Pengetahuan yang diperoleh dari sumber rasio, kebenarannya hanya didasarkan
pada kebenaran akal pikiran semata, pendapat ini dikembangkan oleh para kaum
rasionalis, sedangkan orang yang menganut faham ini disebut kaum rasionalisme.
Sebaliknya, orang yang berpendapat bahwa sumber ilmu pengetahuan yang diperoleh
melalui pengalaman, kebenaran pengetahuan hanya di dasarkan pada fakta-fakta
yang ada dilapangan, sedangkan orang yang menganut faham ini disebut sebagai
kaum empirisme.
Kaum
rasionalis, untuk memeroleh pengetahuan yang benar dilakukan dengan menggunakan
penalaran, sedangkan logika yang digunakan adalah logika deduktif.
Premis-premis yang digunakan dalam proses penalaran diperoleh melalui ide-ide
yang menurut anggapan dasarnya jelas dan dapat diterima. Prinsip semacam ini
sebenarnya sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya, sehingga
orang yang menggunakan logika deduktif dalam setiap pemecahan masalah yang
dihadapi dikenal dengan nama idealisme.[4]
Kaum
empiris, mempunyai pendapat yang berbeda dengan kaum rasionalis terkait dengan
sumber pengetahuan. Seorang penganut empirisme biasanya berpendirian bahwa kita
dapat memeroleh pengetahuan melalui pengalaman.[5]
Kaum empiris beranggapan bahwa gejala-gejala alamiah yang terjadi dimuka bumi
ini adalah bersifat konkrit dan dapat dinyatakan melalui tangkapan panca indera
manusia. Gejala-gejala ini bila kita kaji lebih jauh, ternyata memiliki
beberapa karakteristik tertentu, misalnya gejala alam yang muncul ternyata
memiliki pola yang teratur mengenahi suatu kejadian tertentu. Hal ini
memungkinkan kita untuk melakukan generalisasi dari berbagai kasus yang telah
terjadi di alam semesta ini. Artinya dengan menggunakan penalaran induktif mka
dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum melalui pengamatan terhadap
gejala-gejala fisik yang bersifat individual.
Sumber
pengetahuan selain dapat diperoleh melalui rasionalisme dan empirisme, ternyata
masih ada cara lain yang perlu kita ketahui yaitu intuisis dan wahyu. Intuisi
adalah kegiatan berfikir untuk mendapatkan pengetahuan tanpa melalui proses
penalaran tertentu. Intuisi bisa bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya
sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan yang ditemukan tidak pada saat
seseorang itu sadar sedang memikirkan mencari pemecsahan permasalahan yang
sedang mereka hadapi. Suatu masalah yang kita pikirkan, yang kemudian kita
tunda karena menemui jalan buntu tiba-tiba saja muncul dibenak kita suatu
jawaban yang lengkap.
Intuisis
merupakan kegitan berfikir yang bersifat personal dan tidak bisa diramalkan
sebagai dasar penyusunan pengetahuan secara teratur maka intuisis tidak dapat
diandalkan. Intuisis merupakan pengalaman puncak bagi manusia dalam mencari
kebenaran. Dan intuisi merupakan intelegensi yang paling tinggi bagi diri
manusia dalam mencari kebenaran.[6]
B.
Metode dalam Mengembangkan Ilmu
1. Metode Epistemologi Barat
Banyak
identifikasi tentang pendekatan epistemology barat yang telah melakukan
imperialism epistemology diseluruh dunia, terutama di dunia Islam. Menurut
Kazuo Shimogaki, kecenderungan epistemologi
barat modern menjadi lima macam yaitu: pemisahan antara bidang sacral dan
bidang duniawi, kecenderungan kea rah reduksionisme, pemisahan antara
subyektifitas dan objektifitas, antroposentrisme, dan progresifisme.
Agaknya perlu
disebutkan juga bahwa pendekatan epistemology barat itu adalah sebagai berikut:[7]
a. Pendekatan skeptis
Cirri
skeptis atau keragu-raguan (kesangsian) tampaknya menjadi warna dasar bagi
epistemology barat. Skeptisisme ini pertamakali di dunia barat di perkenalkan
oleh Rene Descartes. Baginya, filsafat dan ilmu pengetahuan dapt diperbaruhi
melalui metode dengan menyangsikan segala-galanya. Dalam bidang ilmiah tidak
ada suatu apapun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan dn pada
kenyataannya memang dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan
kecuali ilmu pasti.
Pikiran-pikiran
Descartes, terutama tentang metode skeptis itu sangat memengaruhi filsafat
modern, termasuk juga aspek epistemologinya. Disamping itu, juga memngaruhi
ilmu pasti, ilmu pesawat, ilmu alam dan ilmu kedokteran. Paradigma berfikir
skeptis ini sampai sekarang selalu dijadikan pedoman dalam memperbaruhi dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Para ilmuan senantiasa menyangsikan segala
sesuatu yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan hingga mendapatkan kemantapan.
Diaklangan ilmuan barat, keraguan menjadi salah satu cirri epistemologinya.
Mereka berangkat dari keraguan ketika menghadapi suatu persoalan pengetahuan
yang belum terpecahkan secara menyakinkan. Tradisi epistemology akhirnya
memengaruhi ilmuan lainnya. Akhirnya sikap skeptis merupakan karakteristik
seorang ilmuan, artinya dia tidak pernah menerima kebenaran suatu pernyataan
sebelum penjelasan mengenahi isi pernyataan itu dapat dia terima dan
konsekuensi kebenaran pernyataan tersebut dapat disaksikannya secara empirik.[8]
b. Pendekatan rasional empiris
Dalam
epistemology barat, metode rasional memiliki tempat yang istimewa, terutama
pada saat mengukur keabsahan kebenaran ilmu pengetahuan. Betapapun bagusnya
temuan ilmu pengetahuan, bila tidak rasional kebenarannya maka temuan terseebut
tidak akan diakui sebagai kebenaran ilmiah.
Jadi
rasio telah memainkan peran signifikan terhadap bangunan epistemology berikut
hasil-hasilnya. Bahkan epistemology yang berkembang sekarang ini terlalu
mengandalkan kekuatan rasio, tanpa sedikitpun member peluang kepada
kemungkinan-kemngkinan trasnsenden untuk memengaruhi perilaku seseorang.[9]
Rasio menjadi sandaran utama dalam membangun ilmu pengetahuan bail ilmu alam,
ilmu sosial, maupun humaniora. Sehingga rasio menjadi penentu keabsahan ilmu
pengetahuan.
c. Pendekatan dikotomik
Dikotomi
adalah pembagian atas dua konsep yang saling bertentangan. Dikotomi ini muncul
bersamaan dengan setidaknya beriringan dengan masa renaissance di Barat. Sebelumnya kondisi sosio religious maupun
sosio intelektual di Barat dikendalikan oleh gereja. Semua temuan ilmiah bisa
dianggap sah dan benar bila sesuai dengan doktrin-doktrin gereja. Masa renaissance ini melahirkan sekularisasi (pemisahan urusan
dunia dan akhirat) dan dari sekularisasi ini lahirlah dikotomi pengetahuan.
Epistemology
barat yang senantiasa bersifat dikotomis tersebut bagi ilmuan barat adalah cara
terbaik untuk memeroleh kebenaran pengeahuan. Namun, bagi dunia Islam bisa
mengandung bahaya. Berdasarkan kenyataan ini, maka muncul gagasan Islam Untuk
Disiplin Ilmu (IUDI), supaya ilmu pengetahuan tidak berkembang secara liar.
Oleh karena berbagai masalah, pembagian pengetahuan yang bersifat dikotomis itu
tentu tidak diterima oleh Islam, karena berlawanan dengan kandungan ajaran
Islam sendiri.
d. Pendekatan positif-obyektif
Kata
positif sama artinya dengan faktual (apa yang berdasarkan fakta-fakta). Pengetahuan
kita tidak boleh melampaui fakta-fakta, maka pengetahuan empiris dijadikan
pedoman istimewa dalam bidang pengetahuan. Ilmu-ilmu positif dalam menerangkan
suatu hal tidak merujuk kepada hal-hal yang buka fenomena dan yang mengatasi
bidang inderawi. Dengan kata lain, ilmu positif tidak mepergunakan keterangan
yang sifatnya metafisis.
Pendekatan
yang dekat dengan pendekatan positif adalah pendekatan objektif. Pendekatan
obyektif adalah pendekatan yang memandang pengetahuan manusia sebagai suatu
sistem pernyataan atau teori yang dihadapkan pada diskusi kritis, ujian
intersubjektif atau kritik timbale balik. Pendekatan objektif ini berusaha
membersihkan pengetahuan dari subjektifitas orang yang mengembangkannya
lantaran faktor agama, biografi intelektual, ideology, adat, maupun kepentingan
golongan tertentu.
e. Pendekatan yang menentang dimensi
spiritual (anti metafisika)
Para
filosof barat modern mulai dari Rene Descsartes hingga para ilmuan belakangan
ini hamper semuanya menolak keterlibatan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Bagi mereka, jika saja eksistensi wahyu Tuhan diakui itu hanya dalam
kapasitasnya member petunjuk kepada manusia dalam memantapkan keimanan,
menjalankan ibadah, melaksanakan upacara-upacara ritual, dan meningkatkan
moral. Jelasnya, wahyu memiliki peranan sendiri dalam kehidupan manusia, yaitu
memberikan seperangkat aturan yang harus dijalani manusia sebagai bekal untuk
menuju kehidupan akhirat. Diluar itu semua termasuk persoalan ilmu pengetahuan
tidak termasuk bahasan wahyu.
2. Metode Epistemologi Islam
Sedangkan
dalam kronologi struktur metodologi Islam, yaitu berangkat dari filsafat Islam
yang mencakup epistemology Islam yang
kemudian epistemology Islam melahirkan metodologi Islam. Berpijak dari
perbedaan antara filsafat Islam dan filsafat Barat, akhirnya melahirkan
epistemology dan selanjutnya metodologi yang berbeda. Namun ketika berpijak
pada kesamaan keduanya, maka terdapat titik pertemuan.dari perbedaan keduanya
diperoleh kenyataan bahwa filsafat Islam disamping berdasarkan akal jugaa
berdasarkan wahyu, dan wahyu ini mewarnai epistemology Islam, sehingga ia
mencakup dimensi spiritual, seperti intuisi. Selanjutnya epistemology yang
berdasarkan nilai-nilai transcendental ini melahirkan metodologi yang juga
dipengaruhi nilai-nilai transcendental yang kemudian disebut metodologi Islam.[10]
Mengingat
filsafat Islam berdasarkan wahyu, maka epistemology dan metodologi Islam juga
di dasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Mohammad Anwar menegaskan bahwa
Qur’an Hadis adalah sumber fundamental metodologi Islam. Pengetahuan Qur’an dan
Hadis adalah pangkal (inti, dasar, permulaan) metodologi Islam. Pangkal itu
merupakan pusat pertumbuhan pengetahuan. Panmgkal itu memuat beberapa
pengetahuan yang relevan dengan setiap disiplin. Penggunaan metodologi Islam
akan membawa konsekuensi lebih lanjut, pengetahuan yang di capai dari metodologi
ini merupakan pengetahuan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Sebaliknya,
pengetahuan yang dihasilkan dari metodologi barat tidak bisa diakui sebagai
pengetahuan yang Islami.
Dengan
demikian, metodologi Islam tidak bebas nilai. Metode Islam tetap akan
dipengaruhi wahyu kendati juga dipengaruhi akal. Sesungguhnya dalam memeroleh
pengetahuan dengan sengaja berpegang pada wahyu dan akal bersama-sama, dan
menolak sikap ekstrim. Meskipun metode islami sarat-sarat dengan nilai-nilai
yang berasal dari wahyu Allah, tetapi masih mempertimbangan keseimbangan,
sehingga akal diberikan peran yang besar dalam memeroleh pengetahuan. Pemahaman
yang benar tidak menjadikan wahyu dan akal berbenturan, tetapi justru
menjadikan wahyu memberikan bantuan atau menyempurnakan akal.[11]
Metode
epistemology pendidikan Islam adalah metode-metode yang digunakan dalam
memeroleh pengetahuan tentang Islam. Dari perenungan-perenungan terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an, Hadist Nabi, sementara didapatkan lima macam metode untuk
membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu:
a. Metode rasional
Metode
ini dipakai untuk mencapai pengetahuan tentang pendidikan Islam, terutama yang
bersifat apriori. Pencapaian jenis ini merupakan hasil dari
perenungan-perenungan akal. Penggunaan akal untuk mencapai pengetahuan termasuk
pengetahuan pendidikan Islam mendapat pembenaran agama Islam. Sebagaimana kita
ketahui, bahwa al_qur’an merupakan wahyu Allah yang diperuntukan untuk petunjuk
bagi manusia yang bertaqwa. Akan tetapi al-Qur’an tidak bisa dipahami oleh
orang bodoh atau sembarang orang. Al-Qur’an baru dapat dipahami jika seseorang
disamping berbekal ilmu-ilmu bantu, juga mendayagunakan akalnya. Dengan kata
lain, al-Qur’an menuntut agar dipahami dengan akal sehat.
b. Metode intuitif
Dalam
tindakan metode, metode intuitif ini sering disebut sebagai metode apriori.
Dalam pembahasan filsafat, apriori umumnya dimaksudkan sebagai adanya
pengetahuan yang diperoleh sebelum di dahului oleh pengalaman. Jika metode
intuitif itu sering disebut sebagai metode apriori itu karena pengetahuan yagn
diperoleh menggunakan pendekatan intuitif itu adalah pengetahuan yang tiba-tiba
secara teranugerahkan dan tidak melalui pengalaman sama sekali. Dalam
pendidikan Islam, pengetahuan intuitif tersebut senantiasa ditempatkan pada
posisi yang layak. Intuisi ada dalam diri manusia dan sekaligus merupakan
potensi manusia untuk memeroleh pengetahuan.
Dalam
ilmu pengetahuan Islam, bukan hanya menggunakan indera da akal dalam merumuskan
suatu konsep, tapi yang tak kalah strategisnya adalah adalah mmenggunakan
intuisi dan wahyu. Memeberikan sumbangan yang signifikan terhadap bangunana
ilmu pengetahuan Islam, karena intuisi dijadikan sebagai metode dalam
memperoleh pengetahuan.
c. Metode dialogis
Metode
dialogis yang dimaksud adalah upaya menggali pengetahuan pendidikan Islam yang
dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan
(Tanya-jawab) antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan
argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Metode
dialogis ini memiliki sandaran teologis yang jelas. Upaya untuk mencari
jawaban-jawaban adalah aktifitas yang sah menurut Islam maupun ilmu
pengetahuan. Dialog ilmiah tersebut pberperan dalam memperkaya peradaban,
kebudayaan, atau lebih spesifik lagi ilmu pengetahuan. Dialog dapat melahirkan
pemahaman yang jernih, wawasan yang luas dan komprehensif, serta pengetahuan
yang baru sama sekali.[12]
d. Metode komparatif
Metode
komparatif adalah metode memeroleh pengetahuan dengan cara membandingkan teori
maupun praktik pendidikan, baik sesame pendidikan Islam maupun pendidikan Islam
dengan pendidikan lainnya. Metode komparatif sebagai metode epistemology
pendidikan Islam tidak hanya bertujuan yang sifatnya perluasan pengetahuan,
tetapi yang lebih penting justru pembentukan dan penyusunan pengetahuan yang
baru sama sekali.
e. Metode kritik
Kritik
ini penting sekali dalam menguji validitas pengetahuan. Sejarah filsafat
sendiri banyak diwarnai oleh kritik. Kritik tidak hanya terdapat pada filsafat
Islam, tetapi juga pada ilmu Kalam, Fiqih, Sejarah Islam maupun Hadist. Bahkan
dalam penelitian hadist
ditemukan banyak ulama kritikus Hadist. Namun belakangan ini, tradisi kritik
itu mengalami kemandegan dikalangan muslim, sehingga peradaban Islam mengalami
kemandegan. Pemikir muslim dewasa ini jarang sekali yang berpijak dari metode
kritik ketika mengungkapkan gagasan-gagasannya. Kritik terlahir dari proses
berfikir secara cermat, jernih dan mendalam sehingga ditemukan celah-celah
kelemahan dari konsep-konsep, teori-teori, maupun pemikiran-pemikiran yang
dikritik.
C.
Implikasi Integrasi Pengetahuan Pada Pendidikan
Dasar
Kompleksitas
persoalan yang ada dalam kehidupan manusia dewasa ini membuat kepercayaan
kepada ilmu dan teknologi sebagai satu-satunya yang mampu menyelesaikan
persoalan manusia secara lebih memuaskan dan mendasar, mulai memudar. Bahkan
masyarakat mulai menganggap iptek telah gagal menciptakan kedamaian dan
kebahagiaan manusia. Dari itu diperlukan sebuah sistem ilmu pengetahuan yang
tidak terpecah-pecah dan tidak berdiri sendiri, akan tetapi bekerjasama secara
harmonis.[13]
Integrasi
keilmuan antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu pengetahauan agama Islam
masih terlalu banyak pada tataran teoretis dan baru dilaksanakan pada tingkat
perguruan tinggi. Antara lain dengan menyatukan lokasi pendidikan dan program
kerjasama penelitian yang malibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu
dan juga program kuliah lintas disiplin.
Demikian
strategisnya konsep integrasi keilmuan maka sebagai tujuan mencerdaskan bangsa,
maka eksistensi pendidikan dasar adalah ekuivalen dengan keinginan banyak pihak
untuk secara sadar, sistematis, terarah dan terpadu berikhtiyar mengarahkan
peserta didik menjadi manusia bermoral dan berperadaban. Hal demikian tentulah bukanlah
hal yang berlebihan, karena pada pendidikan tingkat dasar dipandang sebagai
waktu paling tepat untuk mendidik karakter manusia.[14]
Pada
wilayah sekolah dasar, anak-anak yang lebih banyak diajarkan pengetahuan umum
disbanding pengetahuan agama yang kemudian menjadi kebanggaan anak terhadap
penegetahuan agama menjadi berkurang. Mata pelajaran umum masih menjadi tujuan
utama dalam penguasaan keilmuan ketika belajar di sekolah. Kiranya konsep
integrasi keilmuan umum dan juga keilmuan agama dapat dilaksanakan dilingkungan
sekolah dasar juga. Sehingga anak memahami sejak awal bahwa tidak ada pemisahan
antara keilmuan umum dan keilmuan agama yang mereka pelajari.
Usaha-usaha
yang dapat dilakukan dalam mengintegrasikan keilmuan pada tingkat dasar
diantaranya sebagai berikut:
1. Terhadap arah kebijakan pendidikan
dasar. Dalam aplikasinya pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan
pendidikan nasional. Sehingga dalam upaya mengintegrasikan keilmuan tidak dapat
dilakukan secara sepihak, tapi harus mulai dari kebijakan pendidikan pada
tingkat nasional.
2. Terhadap isi kurikulum pendidikan dasar.
Berbagai kebijaksanaan pemerintah yang tertuang dalam landasan yuridis formal
perundang-undangan pendidikan telah memposisikan pendidikan agama Islam sebagai
muatan kurikulum wajib.
3. Terhadap konsep dasar pendidikan agama
pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan agama bukanlah ranah yang tersendiri
yang bebas menentukan haluan perjalanannya. Idealisasi pendidikan agama yang
berkeseimbangan bukanlah sekedar normatif. Realita kehidupan anak menunjukan
semakin banyaknya pengalaman agama yang di dapatnya melalui pembiasaan, akan
semakin banyaklah unsur agama dalam pribadinya dan semakin mudah dalam memahami
ajaran agama pada tingkatan selanjutnya. Jadi agama itu mulai dengan amaliah,
kemudian ilmiah atau penjelasan sesuai dengan pertumbuhan jiwanya.
Sistem pengetahuan yang demikian itu,
dikembangkan dan lembagakan melalui pendidikan. Sebagaimana yang terjadi pada
masa kejayaan Islam, pendidikan dapat menghasilkan kreatifitas dalam segala
bidang ilmu pengetahuan.
Manurut Fazlur Rahman, upaya
mengembalikan kejayaan umat Islam dalam berbagai bidang adalah dengan
menumbuhkan sifat kritis dan kreatif. Pada awalnya sikap kritis dan kreatif
yang diperlukan adalah yang memungkinkan peserta didik berani dan memiliki rasa
percaya diri untuk memahami wahyu secara langsung. Mereka tidak lagi menganggap
bahwa hasil pemahaman ulama terhadap wahyu merupakan hasil yang sudah final,
yang pasti mujarab untuk mendiagnosis permasalahan-permasalahan sekarang dan
yang akan datang.[15]
Jadi upaya dalam mengintegrasikan pengetahuan umum dengan pengetahuan agama
yang tujuan utamanya adalah utnuk memajukan kembali umat Islam pada zaman
modern ini, dalam tingkatan dasar adalah dengan menciptakan jiwa islami yang
kritis dan kreatif.
D.
Mengembangkan Guru dalam Upaya Integrasi Pengetahuan
Dalam upaya pengembangan integrasi ilmu
pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama dilingkungan sekolah dasar, guru
memiliki peran yang sangat penting. Kemampuan guru dalam mengembangkan
pembelajaran yang mengintegrasikan keilmuan umum dan agama akan sangat
menentukan keberhasilan upaya tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri kemampuan
pengajar-pengajar masih belum mampu mengintegrasikan pengetahuan umum dengan
pengetahuan agama. Guru masih hanya menguasai satu bidang tertentu saja.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
mengembangkan kualitas guru sehingga dapat mengintegrasikan pengetahuan umum
dan agama, langkah-langkah pemberdayaan guru berdasarkan hasil analisis atas
kondisi guru di Indonesia diantaranya:[16]
1. Peningkatan kesejahteraan guru
Peningkatan
kesejahteraan dapat berupa kesejahteraan ekstrinsik dan intrinsik.
Kesejahteraan ekstrinsik terkait dengan gaji yang layak yang minimal dapat
memenuhi kebutuhan fisik yang menurut Maslow sebagaimana dikutip oleh Robins
meliputi: rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian, perumahan), seks, dan
kebutuhan ragawi lainnya. Walaupun besarnya gaji diyakini sangat menentukan
tingkat kesejahteraan namun bukanlah satu-satunya. Seandainya kemampuan lembaga
terbatas untuk memberi gaji yang memadai, lembaga dapat melakukan cara lain
dalam rangka memenuhi kebutuhan guru lainnya sebagaimana dikemukakan Maslow.
Kebutuhan itu meliputi: jaminan keamanan (fisik dan emosional), sosial (kasih
saying, rasa memiliki, diterima baik, dan persahabatan), penghargaan
(penghargaan internal seperti harga diri, otonomi dan prestasi, dan factor
hormat eksternal seperti status, pengakuan dan perhatian), dan aktualisasi diri
(dorongan untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi, mencakup pertumbuhhan,
mencapai potensialnya, dan pemenuhan dirinya).
2. Pengembangan karir guru
Pengembangan
karir antara lain dapat dilakukan dengan sistem promosi terbuka dan jujur
sehingga membuka peluang untuk berkompetisi secara fairness diantara sesame guru. Berbagai jenis lomba dan penghargaan
bagi guru berprestasi perlu dibudayakan. Jabatan-jabatan structural yang
strategis dan puncak jabatan fungsional yang dapat dijabat oleh guru
dikembangkan baik dengan memformalkan posisi yang telah ada sekarang maupun
dengan mengembangkan posisi baru yang memang dibutuhkan sejalan dengan dinamika
organisasi sekolah.
3. Peningkatan kemampuan para guru
Peningkatan
kemampuan professional guru dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti:
pendidikan lanjutan dlam jabatan, inservice
traing, pembentukan wadah-wadah peningkatan kualitas guru seperti
penyeliaan, pemantapan kerja guru (PKG) dan musyawarah guru mata pelajaran
(MGMP). Sekolah perlu mengakses informasi yang berkaitan dengan peningkatan
kemampuan guru majalah, jurnal, internet dan lain sebagainya.
4. Mengatasi beban psikologis guru
Guru
memiliki beban psikologis yang berat akibat tugas-tugas berat dan kompleks yang
harus dilaksanakan, tanggungjawab yang dipikulkan, kemampuan yang terbatas dan
gaji yang kecil. Atas dasar itu sekolah perlu mengembangkan pembinaan guru
secara orang per-orang dan bersifat pendekatan pribadi untuk memenuhi kebutuhan
masing-masing guru.
Jadi
usaha dalam mengembangkan guru sangat erat kaitannya dengan seluruh unsure
pendidikan. Tidak bisa mengembangkan kualitas guru hanya diserahkan kepada
masing-masing guru. Segenap unsure yang terkait dalam pendidikan harus ikut
serta mengembangkan dengan cara dan batas kekuasaannya masing-masing, sehingga
tujuan dalam mengintegrasikan pengetahuan umum dengan pengetahuan agama dapat
tercapai dengan maksimal.
IV.
KESIMPULAN
Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar
pada dasarnya ada dua sumber utama yang perlu diketahui oleh manusia, yaitu
berdasarkan rasio dan pengalaman manusia. Pengetahuan yang diperoleh dari
sumber rasio, kebenarannya hanya didasarkan pada kebenaran akal pikiran semata,
pendapat ini dikembangkan oleh para kaum rasionalis, sedangkan orang yang
menganut faham ini disebut kaum rasionalisme. Sebaliknya, orang yang
berpendapat bahwa sumber ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman,
kebenaran pengetahuan hanya di dasarkan pada fakta-fakta yang ada dilapangan,
sedangkan orang yang menganut faham ini disebut sebagai kaum empirisme.
Sumber pengetahuan selain dapat
diperoleh melalui rasionalisme dan empirisme, ternyata masih ada cara lain yang
perlu kita ketahui yaitu intuisis dan wahyu. Intuisi adalah kegiatan berfikir
untuk mendapatkan pengetahuan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Intuisi
bisa bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas
suatu permasalahan yang ditemukan tidak pada saat seseorang itu sadar sedang
memikirkan mencari pemecsahan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Suatu
masalah yang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu
tiba-tiba saja muncul dibenak kita suatu jawaban yang lengkap.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
mengembangkan kualitas guru sehingga dapat mengintegrasikan pengetahuan umum
dan agama, langkah-langkah pemberdayaan guru berdasarkan hasil analisis atas
kondisi guru di Indonesia diantaranya:
1. Peningkatan kesejahteraan guru.
2. Pengembangan karir guru.
3. Peningkatan kemampuan para guru.
4. Mengatasi beban psikologis guru.
DAFTAR PUSTAKA
A.M
syaifuddin. 1991. Desekulerisasi
Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan.
Abdullah,
Amin. dkk., 2003. Menyatukan Kembali
Ilmu-Ilmu Agama Dan Umum, Yogyakarta: Suka Press.
Adib,
Mohammad. 2014. Filsafat Ilmu, Ontology,
Epistemology, Aksiologi dan Logika Pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ghony,
M. Junaidi dan Fauzan Almansur. 2012. Filsafat
Ilmu dan Metode Penelitian, Malang: Uin Maliki Press.
Kattsoff,
Louis O. 2004. Pengantar Filsafat,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mas’ud,Abdurrachman.
dkk., 2001. Paradigma Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mujamil
Qomar, Epistemology Pendidikan Islam,
dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga.
Suriasumantri,
Jujun S. Tentang Hakikat Ilmu: Sebuah
Pengantar Redaksi, Jakarta: Gramedia, 1989.
Sutrisno,
Fazlur Rahman. 2006. Kajian Terhadap Metode, Epistemology, dan
Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tobroni.
Pengembangan Profesionalisme Guru,
artikel,diakses tanggal 03 Maret 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar