Kamis, 11 Januari 2018

Manajemen Stres Di Lingkungan Kerja

PENDAHULUAN


Stres adalah suatu kondisi dinamik yang di dalamnya seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang kendala atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang diinginkannya dan hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting.[1] Stres merupakan salah satu masalah yang pasti akan dihadapi oleh setiap orang dalam kehidupannya dan stres tersebut harus diatasi baik oleh karyawan tanpa bantuan orang lain maupun dengan bantuan pihak lain, seperti para spesialis yang disediakan oleh organisasi untuk karyawan dalam bekerja. 
Rousseau dan Prince (dalam Rahayu) mengatakan bahwa stres kerja juga dipandang sebagai kondisi psikologik yang tidak meyenangkan yang timbul karena karyawan merasa terancam dalam bekerja.[2] Perasaan terancam ini disebabkan hasil persepsi dan penilaian karyawan yang menunjukkan ada ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian antara karakteristik tuntutan-tuntutan pekerjaan dengan kemampuan dan kepribadian karyawan.


PEMBAHASAN

1. Sumber-Sumber Stres
Ada banyak sumber-sumber stres menurut para pakar psikologi atau sumber daya manusia. Diantaranya adalah menurut Sondang P. Siagan antara lain:[1]
1.      Berasal dari pekerjaan
Berbagai hal yang dapat menjadi sumber stres yang berasal dari pekerjaan antara lain: a) beban tugas yang terlalu besar, b) iklim kerja yang menimbulkan rasa tidak nyaman, c) tidak seimbangnya antara wewenang dan tanggung jawab, d) frustasi yang ditimbulkan oleh intervensi pihak lain yang terlalu sering sehingga seseorang merasa terganggu konsentrasinya, e) konflik antar karyawan dengan pihak lain di dalam dan di luar pekerjaan.
2.      Berasal dari luar pekerjaan
Situasi lngkungan luar pekerjaan dapat juga menjadi sumber stres. Berbagai masalah yang dihadapi oleh seseorang seperti: a) masalah keluarga, b) perilaku negatif anak-anak, c) kehidupan keluarga tidak atau kurang harmonis, d) pindah tempat tinggal dan adanya anggita keluarga yang meninggal, kecelakaan, terkena penyakit, gawat dan lain sebagainya.
Baron et. al. menyatakan bahwa terdapat tujuh sumber stres yang dijadikan instrumen pada penelitian stres sebelumnya.[2] Ketujuh sumber stres tersebut adalah lingkungan (environment), pribadi (personal), konsekuensi manusia (human concequences), organisasional (organizational), adaptif (adaptif), proses (process), dan waktu (time).
Disisi lain faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya stres menurut Stephen P. Robbins adalah sebagai berikut :[3]
1.      Faktor lingkungan antara lain ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, dan ketidakpastian teknologi.
2.      Faktor organisasi antara lain tuntutan tugas, tuntutan sasaran, dan tuntutan antar personal dan lain sebagainya.
3.      Faktor individu antara lain masalah keluarga, masalah ekonomi, dan kepribadian.
Penyebab stres on the job menurut T. Hani Handoko yang mempengaruhi kinerja, meliputi:[4] 1) beban kerja yang berlebihan, 2) tekanan atau desakan waktu, 3) kualitas supervise yang jelek, 4) umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadahi, 5) frustasi, 6) konflik antar pribadi atau kelompok, 7) perbedaan antar nilai-nilai perusahaan atau karyawan, 8) berbagai bentuk perubahan.
Penyebab stres off the job, antara lain: 1) kekhawatiran finansial, 2) masalah yang bersangkutan dengan anak, 3) masalah politik, 4) masalah-masalah pernikahan (misalnya perceraian), 5) perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal, 6) masalah pribadi seperti kematian sanak saudara atau keluarga.
Pada dasarnya segala macam bentuk stres disebabkan oleh kekurangpengertian manusia akan keterbatasan-keterbatasannya sendiri.[5] Ketidakmampuan melawan keterbatasan inilah yang akan menimbulkan frustasi, konflik, gelisah dan rasa bersalah yang merupakan tipe-tipe dasar stres.

2. Konsekuensi Stres Kerja
Pergerakan dari mekanisme pertahanan tubuh bukanlah satu-satunya konsekuensi yang mungkin timbul dari adanya kontak dengan sumber stres. Akibat dari stres banyak bermacam-macam. Ada sebagian yang positif seperti meningkatnya motivasi, terangsang untuk bekerja lebih giat lagi, atau mendapat inspirasi untuk hidup lebih baik lagi. Tetapi banyak diantaranya yang merusak dan berbahaya. Menurut Cox telah mengidentifikasi efek stres yang mungkin muncul.[6] Kategori yang disusun Cox meliputi:
1.      Dampak Subjektif (Subjective Effect)
Kekhawatiran/kegelisahan, kelesuhan, kebosanan, depresi, keletihan, frustasi, kehilangan kesabaran, perasaan terkucil dan merasa kesepian.
2.      Dampak Perilaku (Behavioral Effect)
Akibat stres yang berdampak pada perilaku pekerja dalam bekerja di antaranya peledakan emosi dan perilaku implusif.
3.      Dampak Kognitif (Cognitive Effect)
Ketidakmampuan mengambil keputusan yang sehat, daya konsentrasi menurun, kurang perhatian/rentang perhatian pendek, sangat peka terhadap kritik/kecaman dan hambatan mental.
4.      Dampak Fisiologis (Physiological Effect)
Kecanduan glukosa darah meninggi, denyut jantung dan tekanan darah meningkat, mulut kering, berkeringat, bola mata melebar dan tubuh panas dingin.
5.      Dampak Kesehatan (Health Effect)
Sakit kepala dan migran, mimpi buruk, sulit tidur, gangguan psikosomatis.
6.      Dampak Organisasi (Organizational Effect)
Produktivitas menurun/rendah, terasing dari mitra kerja, ketidakpuasan kerja, menurunnya kekuatan kerja dan loyalitas terhadap instansi.
Sedangkan menurut T. Hani Handoko, stres dapat membantu atau menjadi fungsional, tetapi juga bisa berperan salah (disfungsional) atau merusak prestasi kerja. Hal ini berarti bahwa stres mempunyai potensi untuk mendorong atau mengganggu pelaksanaan kerja, tergantung seberapa besar tingkat stres.[7] Lebih lanjut menurutnya bila tidak ada stres, tantangan-tantangan kerja juga prestasi kerja cenderung naik, karena stres membantu karyawan untuk mengarahkan segala sumber dayanya dalam memenuhi berbagai persyaratan atau kebutuhan pekerjaan.
Akan tetapi stres terlalu tinggi maka dapat menurunkan prestasi, mengganggu pelaksanaan pekerjaan seseorang.[8] Karyawan kehilangan kemampuan untuk mengendalikannya. Menjadi tidak mampu mengambil keputusan-keputusan dan perilakunya menjadi tidak teratur atau tidak disiplin. Paling ekstrim atau parah adalah prestasi kerja menjadi nol, karena karyawan menjadi sakit atau tidak kuat bekerja lagi, putus asa, keluar atau melarikan diri dari pekerjaan dan mungkin diberhentikan.
Stres yang teratasi dapat menimbulkan gejala badaniah, emosional dan gejala sosial. Dapat ringan, sedang dan berat. Gejala badan meliputi: sakit kepala, sakit maag, mudah kaget (berdebar-debar), banyak keluar keringat dingin, gangguan pola tidur, lesu letih, kaku leher, gangguan psikoseksual, nafsu makan menurun, ual, muntah, gejala kulit, berbagai macam-macam gangguan menstruasi dan sejumlah gejala lainnya.[9] Gejala emosional misalnya, pelupa, sukar berkonsentrasi, sukar mengambil keputusan, cemas, was-was, kuartir, murung, mudah marah atau jengkel, pikiran bunuh diri, gelisah, pikiran putus asa dan sebagainya. Gejala sosial misalnya, makin banyak merokok, minum, makan, sering mengontrol jendela, menarik diri dari pergaulan sosial, mudah bertengkar, membunuh dan lain sebagainya.
Dari berbagai gejala tersebut pada umumnya akan mendapatkan berbagai gejala yang tidak normal pada diri seseorang atau karyawan yang mengalami stres tidak teratasi. Artinya karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai gejala negatif yang pada gilirannya berpengaruh pada prestasi kerja.[10]

3. Manajemen Stres
Menurut Munandar, ada beberapa teknik yang digunakan dalam manajemen stres yaitu :
1. Kerekayasaan Organisasi
Melalui analisis kerja dan kerekayasaan metode dapat dirancang pola pekerjaan baru bagi pekerjaan yang dirasakan memiliki beban berlebihan. Secara kuantitatif, banyaknya kegiatan dapat dikurangi, misalnya dengan penambahan tenaga kerja, sedangkan secara kualitatif dapat dikurangi tanggung jawabnya juga. Sebaliknya bagi pekerjaan dengan beban terlalu sedikit dapat dilakukan perluasaan pekerjaan (job enlargement) dan pemerkayaan pekerjaan (job enrichment). Dapat pula dilakukan strategi yang diajukan oleh Everly dan Girdano yaitu sasaran berdasarkan kerja (work by-objectives) dan manajemen waktu (time management) yang khusus berlaku untuk para manajer menengah keatas.
Sasaran Berdasarkan Kerja (SBK) ini merupakan salah satu teknik yang termasuk dalam jenis Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management by Objectives). SBK terdiri dari 4 langkah yaitu : a) menetapkan sasaran realistik bagi satuan kerjanya, yang dapat dicapai dalam waktu yang dimiliki; b) merancang perangkat perencanaan, tindakan atau metode untuk dapat mencapai sasaran; c) menciptakan strategi untuk dapat mengukur keberhasilannya mencapai sasaran-sasaran pada akhir suatu periode tertentu; dan d) pada akhir waktu yang sudah ditentukan mengukur keberhasilan mencapai sasaran-sasarannya.
Manajemen Waktu (MW) memiliki tiga tahap[11], yaitu :
1)      Analisis waktu
Analisis waktu mencakup penaksiran, penyusunan prioritas, dan penjadwalan waktu dalam kaitan dengan tuntutan waktu terhadap pekerjaan. Berdasarkan rencana kerja yang dibuat pada SBK dihitung waktu yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut. Waktu yang diperlukan kemudian disesuaikan dengan waktu yang tersedia, sedemikian rupa sehingga tugas-tugas dapat diselesaikan sesuai dengan urutan kepentingannya dalam waktu yang tersedia.
2)      Strategi untuk mengorganisasi
Tahap kedua ialah pelaksanaan strategi untuk mengatur beban kerja. Manajer membagi tugas, mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab.
3)      Strategi untuk follow-up
Follow-up mencakup penaksiran teratur tentang efisiensi dari analisis waktu dan tahap-tahap pengaturan berikutnya. Dengan follow-up diperoleh peluang untuk menyesuaikan strategi-strategi yang cocok antara kepribadian manajer dengan pekerjaannya. SBK dan MW khususnya dapat dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan yang dirasakan memiliki beban berlebihan.
2. Kerekayasaan Kepribadian
Strategi yang digunakan dalam kerekayasaan kepribadian ialah upaya untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam kepribadian individu agar dapat dicegah timbulnya stres dan agar ambang stres dapat ditingkatkan. Perubahan-perubahan yang dituju ialah perubahan dalam hal pengetahuan, kecakapan, keterampilan dan nilai-nilai yang mempengaruhi persepsi dan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya.
Program pelatihan keterampilan meruapakan salah satu strategi untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja sehingga timbul rasa percaya diri akan kemampuannya untuk melaksanakan pekerjaannya. Jika tenaga kerja telah mengalami stres, serta stres berakibat terganggunya kesehatan mentalnya, maka psikoterasi dapat diberikan agar ia dapat berfungsi optimal kembali.
3. Teknik Penenangan Pikiran
Tujuan teknik-teknik penennagan pikiran ialah untuk mengurangi kegiatan pikiran, yaitu proses berpikir dalam bentuk merencana, mengingat, berkhayal, menalar yang scara bersinambungan kita lakukan dalam keadaan bangun, dalam keadaan sadar. Jika berhasil mengurangi kegiatan pikiran, rasa cemas, dan khawatir akan berkurang. Kesigapan umum (general arousal) untuk beraksi akan berkurang, sehingga pikiran menjadi tenang, stres berkurang. Teknik-teknik penenang pikiran meliputi : meditasi, pelatihan relaksasi autogenik, dan pelatihan relaksasi neuromuscular.
a.       Meditasi
Meditasi dapat dianggap sebagai teknik, dapat pula dianggap sebagai suatu keadaan pikiran (mind), keadaan mental. Berbagai teknik seperti yoga, berfikir, relaksasi progresif, dapat menuju tercapainya keadaan mental tersebut. Konsentrasi merupakan aspek utama dari teknik-teknik meditasi.
Penelitian menunjukkan bahwa selama meditasi aktivitas dari kebanyakan sistem fisik berkurang. Meditasi menyebabkan adanya relaksasi fisik. Pada saat yang sama meditator mengendalikan secara penuh penghayatannya dan mengendalikan emosi, perasaan dan ingatan. Pikiran menjadi tenang, badan berada dalam keseimbangan.
b.      Pelatihan relaksasi autogenik
Relaksasi autogenik adalah relaksasi yang ditimbulkan sendiri (autu-genis = ditimbulkan sendiri). Teknik ini berpusat pada gambaran-gambaran berperasaan tertentu yang dihayati bersama dengan terjadinya peristiwa tertentu yang kemudian terkait kuat dalam ingatan, sehingga timbulnya kenangan tentang peristiwa akan menimbulkan pula penghayatan dari gambaran perasaan yang sama. Pelatihan relaksasi autogenik berusaha mengaitkan penghayatan yang menenangkan dengan peristiwa yang menimbulkan ketegangan, sehingga badan kita terkondisi untuk memberikan penghayatan yang tetap menenangkan meskipun menghadapi peristiwa yang sebelumnya menimbulkan ketegangan.
c.       Pelatihan relaksasi neuromuscular
Pelatihan relaksasi neuromuscular adalah satu program yang terdiri dari latihan-latihan sistematis yang melatih otot dan komponen-komponen sistem saraf yang mengendalikan aktivitas otot. Sasarannya ialah mengurangi ketegangan dalam otot. Karena otot merupakan bagian yang begitu besar dari badan kita, maka pengrangan ketegangan pada otot berarti pengurangan ketegangan yang nyata dari seluruh badan kita. Individu diajari untuk secara sadar mampu merelaksasikan otot sesuai dengan kemauannya setiap saat.
4. Teknik Penenangan Melalui Aktivitas Fisik
Tujuan utama penggunaan teknik penenangan melalui aktivitas fisik ialah untuk menghamburkan atau untuk menggunakan sampai habis hasil-hasil stres yang diproduksi oleh ketakutan dan ancaman, atau yang mengubah sistem hormon dan saraf kita kedalam sikap mempetahankan. Kita dapat melakukan aktivitas fisik sebelum dan sesudah stres. Kita semua merasakan bahwa, dalam menghadapi situasi yang kita rasakan sebagai penuh stres, timbul satu kesigapan umum untuk melakukan sesuatu, timbul tambahan tenaga (untuk “melarikan diri” atau untuk “melawan”) yang timbul sebagai akibat perubahan-perubahan dalam sistem hormon dan sistem saraf kita. Aktivitas yang sesuai dalam hal ini ialah latihan keseluruhan badan, seperti berenang, lari, menari, bersepedaan atau olahraga lain selama kurang lebih satu jam.
Menurut Everly dan Girdano latihan fisik dapat paling baik manfaatnya jika dilakukan dalam beberapa jam setelah timbulnya stres, tetapi setiap saat dalam 24 jam masih akan tetap dapat menolong. Aktivitas fisik dapat juga dilakukan sebelum stres timbul. Aktivitas fisik memiliki sifat preventif (penghindaran). Selama melakukan aktivitas fisik seluruh sistem badan dirangsang untuk beraksi, bergerak. Setelah kegiatan, sistem-sistemnya memantul dengan cara makin melambat (by slowing down), dengan demikian mendorong e relaksasi dan ketenangan. Kurang lebih 90 menit setelah latihan fisik yang baik, timbul rasa dari relaksasi yang mendalam. Relaksasi setelah latihan fisik membawa serta sesuatu rasa “dingin-tenang” (imperturbability), satu reaktivitas terhadap lingkungan yang lebih rendah yang membantu orang, yang secara kronis melakukan latihan-latihan fisik, untuk bereaksi lebih sesuai terhadap rangsangan. Keadaan ini membuat orang melangkah lebih ringan, bersikap lebih positif dan lebih sulit untuk menjadi jengkel.
Senada dengan Munandar, Stephen P. Robbins mengemukakan bahwa ada dua cara dalam mengelola stres kerja, yaitu:[12]
1.      Pendekatan individual
Seorang karyawan dapat memikul tanggung jawab pribadi untuk mengurangi tingkat stresnya. Strategi individu yang telah terbukti efektif mencakup pelaksanaan teknik-teknik manajemen waktu, meningkatkan latihan fisik, pelatihan pengenduran (relaksasi) dan perluasan jaringan dukungan sosial.
2.      Pendekatan organisasional
Beberapa faktor yang menyebabkan stres terutama tuntutan tugas dan peran serta struktur organisasi telah dikendalikan oleh manajemen. Dengan demikian, faktor-faktor ini dapat dimodifikasi atau diubah. Strategi yang mungkin diinginkan oleh manajemen untuk dipertimbangkan antara lain perbaikan seleksi personil dan penempatan kerja, penggunaan penetapan tujuan yang realistis, perancangan ulang pekerjaan, peningkatan keterlibatan karyawan, perbaikan komunikasi organisasi dan penegakan program kesejahteraan korporasi.
Sedangkan menurut Yusuf, pengelolaan stres disebut juga dengan istilah coping.[13] Coping adalah proses mengelola tuntutan (internal atau eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena diluar kemampuan diri individu. Coping terdiri atas upaya-upaya yang berorientasi kegiatan dan intrapsikis untuk mengelola tuntutan internal atau eksternal dan konflik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi coping sebagai upaya mereduksi atau mengatasi stres adalah dukungan sosial dan kepribadian. Karena dukungan sosial dapat diartikan sebagai pemberian bantuan atau pertolongan terhadap seseorang yang mengalami stres dari orang lain yang memiliki hubungan dekat. Sedangkan kepribadian seseorang tersebut juga sangat berpengaruh dalam upaya coping ini. Karena setiap individu mempunyai tipe dan karakteristik berbeda-beda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar